Senin, 02 Januari 2012

mu'tazilah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fenomena ketuhanan tampaknya merupakan fakta Universal. Banyak para ahli teologi dan filsafat agama yang menisbahkan argumentasi tentang adanya tuhan pada fakta sejarah. Ide tentang ketuhanan dalam diri manusiaoleh beberapa kalangan sudah dikategorikan bersifat naluriah. Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya Khowarij dan Syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan mencampakan dalil-dalil dari Al-qur’an dan As-Sunnah.
Salah satu kaum yang mengutamakan akal daripada Al-Qur’an dan Sunnah adalah kaum Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam” . Kaum Mu’tazilah juga menyalahi kesepakatan umat mengenai masalah orang fasiq. Mereka memunculkan pandangan al-Manzilah baiyna al-Manzilatain (tempat di antara dua tempat).
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana asal usul kemunculan kaum Mu’tazilah ?
2. Apa dasar-dasar ajaran kaum Mu’tazilah ?
3. Bagaimana sikap kaum Mu’tazilah terhadap Sunnah ?
4. Apa sebab-sebab hilangnya kaum Mu’tazilah ?
5. Apa saja keutamaan-keutamaan kaum Mu’tazilah ?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui asal usul kemunculan kaum Mu’tazilah.
2. Mengetahui dasar-dasar ajaran kaum Mu’tazilah.
3. Mengetahui sikap kaum Mu’tazilah terhadap Sunnah.
4. Mengetahui sebab-sebab hilangnya kaum Mu’tazilah.
5. Mengetahui saja keutamaan-keutamaan kaum Mu’tazilah.

1.4 Manfaat Penulisan
Untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang ajaran Mazhab Mu’tazilah.





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal-Usul Kemunculan Mu’tazilah
Sejarah munculnya mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Wasil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya .
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazalah yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan .
Golongan pertama (Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam mengenai pertentangan antara Ali bin Abi Tholib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologi seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari .
Golongan kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir pada orang yang berbuat dosa. Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika hasan masih berfikir Wasil mengatakan pendapatnya dengan mengatakan. “ saya berpendapat bahwa orang berbuat dosa besar bukanlah mu’min dan bukanlah kafir.” Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ketempat lain dilingkungan masjid. Disana Wasil mengulangi pendapatnya didepan pengikutnya. Dengan peristiwa ini Hasan berkata, “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang di sebut kaum Mu’tazilah.

2.2 Lima Ajaran Dasar
Kelima ajaran mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-hamsah adalah at-tauhid (pengesaan tuhan), Al-Adl (keadilan tuhan), al- waad wa al-wa’id (janji dan ancaman tuhan), Al-Manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi) dan al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an mungkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran) .

2.2.1 At-Tauhid
Karena terlalu terikat kaum Mu’tazilah dengan konsep keadilan Tuhan (al-‘Adl) dan ketauhidan (Al-Tauhid), maka mereka menamakan dirinya dengan ahli Al-‘Adl wa Al-Tauhid. Mereka menyebut diri mereka sebagai orang yang paling utama menyandang aqidah ini dan yang paling mampu melindunginya dari berbagai aliran berpotensi untuk menghancurkannya, baik agama yang menyeleweng maupun aliran filsafat yang sesat . At-tauhid (pengesaan tuhan) merupakan prinsip utama dan inti sari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang dokrin ini. Namun bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari sesuatu yang dapat mengurangi arti kemaha Esaannya. Tuhanlah satu-satunya yang maha Esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu hanya dialah yang qadim. Bila yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpemulaan) .

2.2.2 Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah Al-Adl, yang berarti tuhan maha adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gemblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurna, dia sudah pasti adil. Ajaran ini ingin menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik. Begitu juga tuhan adil bila tidak melanggar janjinya .
Walaupun keyakinan terhadap keadilan Allah SWT merupakan salah satu prinsip dasar seluruh kaum muslim, namun kaum Mu’tazilah menjadikan sebagai kajian yang inti dalam konsep pemikiran mereka. Kaum Mu’tazilah enggan menggunakan dalil-dalil syar’i. Mereka lebih senang berfilsafat dan beristinbath dengan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan aqidah islam yang rambu-rambunya telah jelas. Akibatnya kaum Mu’tazilah tergelincir dan mensifati Allah dengan sifat yang tidak layak baginya .

2.2.3 Al- Wa’d wa al-Waid
Ajaran yang ketiga sangat erat hubungnya dengan ajaran yang kedua. Al- Waad wa al-Waid berarti janji dan ancaman. Tuhan maha adil dan maha bijaksana dan tidak akan melaggar janjinya. Perbutan tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-janjinya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang berbuat nasuha pasti benar adanya. Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan; siapapun berbuat jahat akan dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.
Konsep Mu’tazilah tentang masalah ini hampir sama dengan konsep mereka tentang keadilan. Dengan konsep keadilan inilah mereka menempatkan orang yang fasik pada posisi al-manzilah baiyna al-manzilatain dimuka bumi dan mengekalkan mereka dalam neraka nanti dihari kiamat. Dengan konsep keadilan ini mereka membatasi kekuasaan Allah SWT, seperti pada konsep mereka tentang al-shalah wa al-ashlah. Berdasarkan konsep ini, sebagian pemuka Mu’tazilah bersikap terlalu berlebihan. Mereka mengatakan bahwa Allah SWT tidak akan menerima taubat orang yang bergelimang dosa, karena ia tidak mampu menghindarinya. Abu Hasyim ibn abu Ali al-Jubba’I berkata : “tak sah tobat orang yang selalu melakukan kebohongan dan orang yang selalu melakukan zina”. Akibat dari terlalu besar perhatian mereka terhadap konsep al-wa’id mereka mengingkari konsep syafa’at yang diuraikan al-quran dan al-hadis.

2.2.4 Al-Manzilah bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah, ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah Khawarij menganggap orang tersebut sebagai kafir bukan musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada tuhan. Boleh jadi dosa tersebut bisa diampuni oleh tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya orang tersebut, berada diantar dua posisi (Al-Manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran inilah, Wasil bin Ata dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, Hasan Al Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya .
Mu’tazilah, disamping mengakui bahwa orang yang berbuat maksiat termasuk ahl al-qiblah dan berada di antara dua tempat, juga berpendapat bahwa orang tersebut boleh saja dinamai muslim untuk membedakannya dari dzimmi, bukan untuk memuji dan memuliakannya, sebab ketika di dunia orang itu beramal seperti amalan orang-orang islam, karena ia dituntut untuk bertaubat dan diharapkan mendapat hidayah. Dalam masalah ini Ibn Abi al-Hadid, seorang tokoh Mu’tazilah yang sangat fanatik, berkata, “walaupun kamu tidak berpendapat bahwa pelaku dosa besar dapat dinamai mu’min atau muslim, tetapi kami membenarkan untuk memakaikan nama-nama itu kepada mereka dengan tujuan untuk membedakan mereka dari orang dzimmi dan penyembah berhala, alasan itulah yang menunjukkan bahwa nama itu bukan untuk memuji dan memuliakan mereka” .


2.2.5 Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an mungkar
Ajaran yang kelima adalah menyeruh kepada kebijakan dan melarang kemungkaran (Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Mungkar). Ajaran ini mengajarkan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus di buktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegah dari kejahatan .
Mereka menetapkan bahwa semua muslim wajib melakukan upaya itu untuk menyiarkan dakwah islam dan menunjuki orang yang sesat serta mencegah serangan orang yang mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan sehingga mereka tidak dapat menghancurkan islam. Karena itu mereka menetapkan dengan gigih prinsip yang kelima ini dalam menghadapi orang-orang zindiq yang berkembang pada awal masa pemerintahan Bani ‘Abbas dan bertujuan menghancurkan sendi-sendi Islam .

2.3 Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah
Berikut adalah beberapa nama yang menjadi tokoh pendiri dan pemikiran aliran teologi Mu’tazilah .
2.3.1 Washil bin ‘Atha al Ghazzal (80-131 H/699-748 M)
Pendiri aliran Mu'tazilah, uang menempatkan Ushul al-Khamsah sebagai ajaran Mu’tazilah. Sebagian ajarannya belum matang.
2.3.2 Abu Huzzail al-Allaf (135-226 H/753-840 M)
Menjadi pimpinan aliran Mu’tazilah Bashrah. Ia mempelajari buku-buku Yunani dan banyak terpengaruh dengan buku-buku itu. Karena dialah aliran ini maju pesat. Pendapat-pendapatnya antara lain:
a. Menetapkan adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi-bagi, atom.
b. Gerak dan diam
c. Hakekat manusia, terletak pada badannya bukan ruh atau jiwanya
d. Gerak penghuni surge dan neraka
e. Qadar, manusia bisa mengadakan perbuatan-perbuatannya di dunia, akan tetapi sudah berada di akhirat tidak berkuasa lagi
2.3.3 Ibrahim bin Sayyar Nazzam (Wafat 231 H/845 M)
Seorang murid Abu-Huzail al-Allaf orang termuka, lancar berbicara, banyak mendalami filsafat, dan banyak karangannya. Beberapa pendapatnya berbeda dengan kaum Mu’tazilah, antara lain:
a. Tentang benda, selain gerak, semua yang ada disebut jisim termasuk warna dan bau
b. Tidak mengakui adanya bagian yang tidak dapat dibagi lagi
c. Teori lompatan
d. Tidak ada diam, pada dasarnya semua bergerak
e. Hakekat manusia, yaitu jiwanya
f. Teori sembunyi, semua makhluk dijadikan Tuhan sekaligus dalam waktu yang lama
2.3.4 Mu’amar bin Abbad as-Sulmay (Wafat 220 H/835 M)
Banyak terpengaruh dengan filosof-filosof, terutama tentang sifat-sifat Tuhan.
2.3.5 Bisyr bin al-Mu’tamir (Wafat 226 H/840 M)
Pendapatnya antara lain, siapa yang taubat dari sesuatu dosa besar kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan menerima siksa yang pertama juga. Sebab taubatnya bisa diterima jika ia tidak mengulang dosa besar tersebut. Ia juga merupakan orang pertama yang mengemukakan tentang reproduksi.
2.3.6 Jahir Amr bin Bahr (Wafat 225 H/808 M)
Ia terkenal tajam penanya, banyak karangannya dan gemar membaca kuku-buku filsafat alam. Namun karang-karangannya yang masih ada adalah tentang kesastraan.
2.3.7 Abu Ali al-Jubbai (Wafat 303 H/915 M)
Sebutan al-Jubbai diambil dari nama suatu tempat, yaitu Jubba-Iran. Guru dari Imam al-Asyari, tokoh utama aliran Ahlussunnah. Ia membantah buku karangan Ibn ar rawandi, yang menyerang aliran Mu’tazilah dan juga membalas serangan Imam al-Asyari ketika keluar dari barisan Mu’tazilah .
2.4 Beberapa Sekte Mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah berbeda pendapat tentang masalah imamah (kepemimpinan). Sebagiannya berpendapat melalui nash (sudah ditetapkan berdasarkan wahyu Allah), sebagian lagi berpendapat melalui pemilihan .
2.4.1 Al-Washiliyyah
Didirikan oleh Abu Huzaifah ibn Atha Al-Gazzal al-Altsag (80-131 H), salah seorang murid Hasan Bashri. Ajaran Washiliyyah terdiri dari empat pokok; pertama, menolak sifat-sifat Allah seperti Ilmu, Qudrat, Iradat, dan hayat. Menurutnya mustahil ada dua tuhan yang qadim dan azali. Katanya: siapa yang mengakui adanya sifat qadim pada zat Allah maka ia mengakui adanya dua tuhan. Kedua, tentang takdir. Katanya: Allah adalah hakim yang adil, karenanya tidak mungkin dapat disandarkan kepadanya keburukan dan kedhaliman, tidak mungkin Allah menghendaki dari manusia sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diperintahkannya. Mustahil Allah menyiksa terhadap perbuatan yang bukan dari manusia sendiri. Karena manusia yang melakukan perbuatan sendiri, perbuatan baik maupun buruk, perbuatan maksiat dan kekafiran, ketaatan dan kemaksiatan. Ketiga, ia berpendapat tentang manzilatain (berada antara dua tempat), Wasil ibn Atha orang yang berdosa besar masih dianggap beriman dan bukan kafir. Wasil mengemukakan alasan bahwa iman terdiri dari unsur-unsur kebaikan. Apabila semua lengkap dinamakan orang beriman terpuji. Sebaliknya orang munafik adalah unsur imannya kurang, ia tidak dapat dikatakan orang terpuji yang beriman dan juga tidak dapat dikatakn orang yang celaka dan kafir. Karena itu persangsiannya dan sebagian perbuatan baiknya masih ada pada dirinya dan ini tidak dapat dipungkiri. Namun apabila ia meninggal sedang ia telah melakukan dosa besar dan tidak bertaubat, maka ia termasuk penghuni neraka yang kekal.

2.4.2 Al-Huzailiyyah
Nama lengkapnya Abu Huzail Hamdan ibn Huzail al-Allaf (135-226 H). ia belajar dengan seorang yang bernama Utsman ibn Khalid ibn Thawil sedang Utsman ibn Khalid ibn Thawil pernah belajar dengan Wasil ibn Atha. Abu Huzail berbeda pendapat dengan tokoh-tokoh mu’tazilah lainnnya dengan sepuluh masalah; pertama, bahwa Allah maha mengetahui dengan Ilmunya, menurutnya ilmu Allah adalah zat-nya, Qudrat Allah dengan Qudratnya dan qudrat itu adalah zat-nya. Pendapat ini diambilnya dari pendapat dari filosof yang mengakui zat Allah yang maha Esa dan tidak terbilang. Sifat bukan sifat yang berdiri pada zat bahkan sifat adalah zat itu sendiri melalui ketentuan kausalitas. Kedua, menurutnya iradan Allah tidak ada tempatnya, Allah hanya menghendakinya. Ketiga, menurutnya ada sebagian kalam Allah yang tidak mempunyai tempat seperti “kun” dan ada sebagian kalam Allah yang mempunyai tempat seperti amar, nahi, berita dan sebagainya. Keempat, pendapatnya masalah sama pendiriannya dengan pendiri rekan-rekannya yang terdahulu. Kelima, menurut proses orang yang kekal di dalam nereka terputus dan tidak menerima perubahan. Kumpulan kebaikan bagi ahli surga dan kumpulan kesengsaraan bagi ahli neraka. Pendapat ini mirip dengan pendapat Jaham ibn Safwan yang menurutnya surga dan neraka akan fana juga. Keenam, pendapatnya tentang kemampuan termasuk sifat yang mendatang pada manusia, seperti sehat dan sakit. Ia membedakan antara pikiran atau keinginan dan perbuatan. Katanya tidak mungkin ada pikiran tanpa diiringi kemampuan pada saat melahirkan perbuatan dan berikutnya barulah lahir perbuatan. Ketujuh, pendapatnya tentang mukallaf sebelum diturunkan wahyu. Orang yang ada sebelum wahyu wajib mengenal Allah dan kalau ia mengabaikannya ia akan dikenakan dosa dan siksa. Kedelapan, pendapatnya tentang ajal dan rizki. Ajal manusia tidak bertambah dan tidak berkurang karena itu kalu ia mati terbunuh berarti ajalnya putus kalaulah tidak dibunuh ia akan hidup sampai akhir ajalnya. Rizki menurutnya ada dua macam (1) setiap yang diciptakan Allah yang bermanfaat dapat dikatakan rizki bagi manusia maka ia keliru jika mengambil yang bukan dijadikan Allah sebagai rizki baginya. (2) barang yang diciptakan Allah tidak semua termasuk rizki bagi manusia karena barang yang halal itulah yang menjadi rizki magi manusia dan yang haram tidak termasuk rizki bagi manusia karena Allah melarang mengambilnya. Kesembilan, Ka’bi meriwayatkan dari Huzail yang mengatakan iradat Allah bukan yang diinginkan Allah. Iradat Allah hanya terjadi pada saat menciptakan. Kesepuluh, pembuktian terhadap yang hilang tidak akan diterima terkecuali dari dua puluh orang dan dalam kelompok itu ada satu atau dua orang termasuk penghuni surga .

2.4.3 Al- Nazhzhamiyyah
Pendirinya adalah Ibrahim ibn Yasar ibn Hani an-Nazhzham. Dia banyk mempelajari buku-buku filsafat karena itu pendapatnya mirip dengan Mu’tazilah hanya pada beberapa masalah terdapat perbedaan. Pertama, dia menambahkan pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa ketentuan baik dan buruk berasal dari manusia. Menurutnya, Allah tidak kuasa menciptakan keburukan dan maksiat karena itu tidak termasuk dalam kehendak Allah. Kedua, pendapatnya tentang iradat Allah, pada dasarnya Allah tidak memiliki sifat iradat namun yang di maksud bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur sesuai dengan ilmu Allah. Ketiga, pendapt tentang perbuatan manusia semuanya terdiri dari gerak, sedang diam adalah gerak yang berhentipengetahuan dan keinginan adalah gerak hati namun tidak menyebut perpindahan, sedang gerak adalah awal dari semua perubahan. Mu’tazilah mengambil pendapat pakar fisika dan mengatakan bahwa roh itu adalah materi yang sangat halus yang menyatu dengan tubuh yang berpangkal dalam hati yang kemudian meresap keseluruh tubuh seperti lemak ke dalam susu. Katanya roh menjadi sumber kekuatan, kemampuan, kehidupan dan keinginan .

2.4.4 Al- Khatabiyyah dan Al-Hadisiyyah
Pendirinya terdiri dari dua orang yaitu Ahmad ibn Khabith (232 H) dan Al-Fadhal al-Haditsi (257 H), kedua tokoh ini adalah murid dari An-Nazhzham ada tiga hal tambahan dari pendapat An-Nazhzham. Pertama, keduanya mengakui bahwa Isa Almasih memang Tuhan sebagai mana pendapat orang nasrani yang menurutnya pada hari kiamat nanti ia menghitung segala amal perbuatan manusia. Keyakinan ini diperkuat dengan beberapa ayat Al-Qur’an di antaranya:
     
“dan datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris” (Q.S. Al-Fajr. 22)
Kedua, mereka menganut teori inkarnasi. Menurut mereka Allah menciptakan tubuh yang suci di suatu tempat bukan tempat kita berada ini dan di tempat itulah Allah menciptakan ma’rifat dan ilmu terhadap Allah, kemudian diberikannya beberapa nikmat .

2.4.5 Al-Bisyariyyah
Pendiri aliran ini adalah Bisyar ibn Mu’tamar (226 H). beberapa pendapat yang berbeda adalah pertama, dia berpendapat bahwa warna, rasa, bau dan apa saja yang dapat dicapai panca indra, termasuk penglihatan dan pendengaran, disandarkan kepada manusia karena terjadinya dari perbuatan manusia. Kedua, Istithaah (kemampuan) menurutnya bukan hanya fisik tetapi juga termasuk mental. Katanya: aku tidak mengatakan perbuatan itu bukan pada saat melahirkan perbuatan tapi juga pada saat terjadinya akibat dari perbuatan. Ketiga, katanya: Allah maha kuasa karena itu Allah kuasa menimpakan penderitaan kepada anak kecil, namun kalau Allah memperbuatnya berarti Allah telah berlaku zhalim kepadanya. Keempat, iradat Allah termasuk perbuatan Allah yang mempunyai dua sisi; dari sisi sifat dan sisi fi’il. Kelima, Allah mempunyai sifat “luthf” (kasih-sayang). Kalau Allah melahikan sifat ini niscaya seluruh penghuni bumi ini beriman. Keenam, katanya: siapa yang bertaubat dari dosa besar kemudian ia mengerjakannya lagi, ia akan disiksa karena perbuatannya yang pertama karena yang menjadi syarat tobat yang diterima adalah tidak mengulang kembali .

2.4.6 Al-Mu’ammariyyah
Pendirinya adalah Muamar ibn Ubbad as-Salma (220 H), yang tergolong tokoh terpenting yang menentang sifat bagi Allah. Dia juga menolak ketentuan (takdir) baik dan buruk berasal dari Allah, dan pendapatnya yang berbeda dengan yang lain adalah tentang kafir dan sesat. Dalam beberapa hal ia berbeda pendapat dengan teman serekannya. Pertama, Allah hanya menciptakan materi sedang sifat dan keaaan materi tumbuh dari materi itu sendiri. Kedua, katanya sifat dan keadaan tidak berhenti, setiap sifat ada pada materi sebagai tempat adanya, adanya pada tempat itulah dibamakan sifat. Ketiga, Al-Ka’bi mengutip dari Mu’ammar bahwa iradat Allah bukan sifat Allah, tetapi termasuk perinta, berita dan hukum Allah. Keempat, dikatan bahwa Mu’ammar mengingkari pendapat yang mengatakan zat Allah itu qadim karena kata qadim menurutnya berasal dari kata qaduma seperti perkataan orang yang lama dan yang baru .

2.4.7 Al-Mardariyyah
Pendirinya adalah Isa ibn Shabih (226 H) yang dijuluki dengan nama Abu Musa atau Mardar. Beberapa masalah yang berbeda pendapat dengan teman semazhab. Pertama, tentang takdir. Menurutnya Allah kuasa untuk berdusta dan berlaku zalim. Kedua, tentang sebab sekunder, memungkinkan terjadinya satu peristiwa dari dua pelaku melalui tawallud. Ketiga, tentang Al-Quran. Menurutnya manusia mampu saja membuat kalimat yang sefasih Al-Quran .

2.4.8 Al-Tsumamah
Pendirinya adalah Tsumamah ibn Asyras an-Namiri (213 H). pendapatnya merupakan sinkritisme ajaran agama dan filsafat. Ia berpendapat bahwa orang fasik yang tetap dalam kefasikannya tanpa bertaubat sampai akhir hayatnya akan kekal didalam neraka. Namun ia berbeda pendapat dalam beberapa hal. Pertama, perbuatan tawaddul menurutnya tidak ada pelakunya karena tidak mungkin disandarkan kepada pelaku seperti penyandaran perbuatan kepada mayat. Kedua, ia berpendapat orang kafir, musrik, penganut majusi, nasrani, yahudi, zindiq, dan atheis pada hari kiamat nanti menjadi tanah seperti juga binatang dan anak orang yang tidak beriman. Ketiga, tentang Istithaah (kemampuan) ialah kesehatan dan keselamatan fisik dan mental dari kerusakan dan istilah istithaah termasuk perbuatan. Keempat, tentang pengenalan adalah termasuk perbuatan tawallud pikiran. Kelima, tentang baik dan buruk harus ditetapkan akal karena itu wajib mengenal Allah sebelum diturunkan wahyu. Keenam, bahwa manusia tidak mempunyai perbuatan terkecuali iradah (keinginan) setelah iradah adalah perbuatan yang tidak ada pelakunya .

2.4.9 Al-Hisyamiyyah
Pendirinya adalah Hisyam ibn ‘Amr al-Fuwathi (226 H) ia menolak menyandarkan suatu perbuatan kepada Allah, sekalipun dalam Al-Quran telah dijelaskan. Pertama, menurut pendapatnya Allah tidak mempersatukan kaum muslim namun kaum muslimin sendiri yang mempersatukan hati mereka. Padahal didalam Al-Quran ditegaskan:
•        ………….
……. niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka…….. (Q.S. Al-Anfal 63).
Kedua, menurutnya, Allah tidak akan menjadikan orang yang beriman mencintai iman dan tidak pula menghiasi keindahan iman kedalam hatinya. Padahal allah berfirman :
      …………………
……Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu………..(Q.S.Al-Hujarat 7) .

2.4.10 Al-Jahizhiyyah
Pendirinya adalah ‘Amr ibn Bahr Abi Utsman al-Jahizh. Dia termasuk tokoh Mu’tazilah dan pengarang buku-buku mazhab mu’tazilah. Perbedaan pendapat dengan rekan-rekan semazhabnya. Pertama, menurutnya, semua ilmu pengetahuan termasuk dahuri yang tidak termasuk usaha manusia. Manusia tidak mempunyai usaha selain dengan keinginan seperti yang dikemukakanTsumamah. Kedua, menurutnya penghuni neraka tidak akan kekal di siksa dalam neraka, karena penghuni neraka akan berubah menjadi bagian dari neraka itu sendiri. Ketiga, makhluk yang berakal, menurutnya mengetahui bahwaAllah yang menciptakan dirinya; mereka mengetahui bahwa mereka selalu membutuhkan nabi, namun mereka kadangkala tidak menyadarinya .

2.4.11 Al-Khayatiyyah dan Al-ka’biyyah
Pendirinya adalah Abu Husain ibn Abi ‘Amr al-Khayyath (300 H). apa yang di maksud dengan materi, menurut al-Khayyath, adalah sesuatu yang dapat diketahui atau diberi tahukan adanya, sedangkan jauhar (atom) adalah bagian materi yang terdapat pada sesuatu yang ma’dum (tidak ada) dan sifat (aradh) adalah sifat yang ada pada sesuatu. Demikian menurutnya berlaku pada semua genus dan spesies. Menurut al-Ka’bi, yang dimaksud dengan Allah maha berkehendak ialah Allah maha mengetahui, maha kuasa atas semua perbuatannya dan tidak ada yang mempengaruhinya .
2.4.12 Al-jubaiyyah dan Al-Bahsyaniyyah
Didirikan oleh Abu ‘Ali Muhammad ibn Abd al-Wahab al-Juba’I (295 H) dan Abu Hasyim Abd as-Salam (321 H). masalah-masalah yang di permasalahkan dengan rekan semazhabnya diantaranya adalah: pertama, mereka berdua mengakui adanya keinginan (iradah) dari mahluk ini dan keinginan ini tidak mempunyai tempat (mahal). Katena itu Allah dikatakan maha berkehendak untuk mengagungkan-nya demi nengagunggkan zatnya maka kehendaknya tidak mempuanyai tempat. Kedua, keduanya mengakui bahwa Allah maha berkata-kata dan perkataan Allah adalah ciptaannya yang ditempatkan pada suara dan huruf. Karena itu hakikat kalam menurut mereka berdua terdiri dari suara yang terputus-putus dan terdiri dari huruf .

2.5 Sikap Mu’tazilah Terhadap Sunnah
Kaum Mu’tazilah meyakini lima dasar (ushul al-Khamsah), dan cabang-cabang pemikiran lainnya. Mereka menjadikannya sebagai kaidah dan asas yang dijadikan sebagai pijakan dalam perdebatan dan interaksi mereka terhadap teks-teks keagamaan baik Al-Qur’an maupun Hadits. Jika mereka mendapat ayat-ayat Al-Qur’an yang menyalahi dasar pemikiran mereka, maka mereka akan menta’wilnya (memberikan interpretasi lain). Jika yang menyalahi itu Hadits-hadits Nabi, maka mereka akan mengingkarinya. Dengan demikian sikap mereka terhadap Hadits, seperti sikap orang yang meragukan otentisitasnya, bahkan terkadang sikap mereka seperti orang yang tidak mempercayai hadits, karena mereka mengguanakan akal untuk menghukumi Hadits bukan Hadits untuk menghukumi akal
Secara umum para ulama salaf sepakat menempatkan akal dan ijtihat pada urutan ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Kaum Mu’tazilah menyalahi kesepakatan ini dan menempatkan akal pada peringkat pertama dalam hirarki dalil-dalil syar’i. Alasannya, karena dengan akal kita bisa memahami Al-Qur’an dan dalil-dalil lainnya.
Al-Qadhi Abdul Jabbar dalam karyannya menjelaskan tenang hirarki dali-dalil syar’i. Beliau berkata: “peringkat pertama adalah akal, karena akal dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Dengan akal kita dapat mengetahui Al-Qur’an sebagai Hujjah, demikian juga Sunnah dan Ijma’. Tidak diragukan lagi telah menyalahi kesepakatan umat. Selanjutnya Beliau berkata: “Sebagian orang merasa heran dengan urutan ini, sehingga mereka mengira dalil-dalil syar’i adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ saja. Mereka berpikiran kendatipun akal dapat menjelaskan berbagai masalah, namun ia tetap menempati urutan terakhir. Pikiran ini jelas salah, karena Allah SWT hanya berinteraksi dengan orang-orang yang berakal .
Kaum Mu’tazilah mendekonstruksikan sakralitas teks Al-Qur’an yang orisinil dan teks Hadits yang bebas dari hawa nafsu. Sebaliknya, mereka menegakkan akal yang masih jelas arahnya sebagai hukum. Dengan alasan pentingnya akal untuk membedakan anatara baik dan buruk, mereka menjadikan akal sebagai instrument untuk mengenal Allah SWT beserta sifat-sifatnya sebelum datangnya hukum syar’i. Al-Jahidz menegaskan lebih lanjut bahwa seseorang tidak boleh berceramah sebelum mereka mengenal Allah SWT. Hal ini dikarenakan pengetahuan tentang Allah merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dan dengan akal-lah pengetahuan itu bisa didapat, bahkan sebelum datangnya wahyu.
Tsamamah bin Asyras sepakat dengan pendapat ini. Selanjutnya Beliau mengatakan: “orang yang tidak mengoptimalkan akalnya, maka ia akan menjadi bahan tertawaan orang lain dan kedudukannya sama dengan hewan, tidak terkena taklif (kewajiban agama).
Kaum Mu’tazilah sendiri adalah kaum yang terlalu memaksakan penggunaan akal tanpa pertimbnagan yang matang dan banyak melakukan penyimpangan terhadap Hadits-hadits. Mereka juga bodoh dalam memberikan ta’wil (interprtasi) terhadap banyak ayat Al-Qur’an. Mereka tidak puas, ketika dituduh kitab-kitab mereka dan pembahasan-pembahasannya jauh dari ruh Sunnah Rasullah SAW. Padahal merekan mendakwakan diri sebagai orang-orang yang berpegang teguh pada Sunnah dan Jama’ah .
Adapun pandangan mereka terhadap sentral Hadits, yaitu:
1. Sikap mereka terhadap sahabat selaku pembawa ilmu Hadits
2. Pandangan mereka terhadap Hadits Mutawatir
3. Pandangan mereka terhadap Hadits Ahad
4. Pandangan mereka terhadap jumlah Hadits Nabi
2.5.1 Pandangan Terhadap Sahabat
Pandangan Mu’tazilah terhadap sahabat sangat jauh sekali terhadap ruh agama. Mereka mengkritik habis para sahabat. Diantara tuduhannya adalah sikap Mu’tazilah yang menjelek-jelekkan sahabat dengan dalil hasil ijtihad akal mereka yang merupakan karakteristik mereka. Mereka juga mengkritik Al-Qur’an. Ketika para sahabat menerapkan ijtihat ra’yi, menurut mereka itu merupakan suatu aib yang tidak bisa dimaafkan dan pelakunya patut dihukum dan mereka harus menanggung akibatnya.
Berkenaan dengan hal ini, al-Nidzam berkata: “orang-orang yang menghukum dengan ra’yi sahabat, maka adakalanya mereka mengira bahwa hal itu diperbolehkan. Sebenarnya mereka tidak mengerti tentang haramnya menghukumi mereka dengan akal yang dinisbatkan kepada sahabat. Atau adakalanya mereka menginginkan adanya suatu pertentangan, sehingga mereka mengeluarkan pendapat mereka sendiri kemudian menisbatkannya sebagai pendapat sahabat. Al-Baghdadi menyatakan bahwa pengaruh hawa nafsu terhadap agama sangat besar sekali. Lebih lanjut al-Nidzam kemudian memberikan contoh jelek mengenai kejadian yang memalukan terhadap semua sahabat, bahkan mereka tidak puas dengan pandangan wajibnya sahabat senior kekal didalam neraka .
Ketika para ulama secara ijma’ menempatkan para Khulafa al-Rasyidin sebagai sahabat utama sesuai urutan mereka dalam Khilafah. Maka Abu Ali al-Jubbai berkomentar: “saya tidak tahu mana sahabat yang paling utama”. Pandangan ini jelas menyalahi kesepakatan umat. Bahkan kalau kita lihat pemikiran mereka terhadap para sahabat yang terlibat dalam perang Jamal dan Shiffin, maka kita akan menemukan mereka menuduh sahabat yang agung itu sebagai orang yang fasiq. Washil bin ‘Atha misalnya ia menuduh dua kaum yang terlibat dalam perang Jamal dan Shiffin sebagai orang yang bersalah. Ia memang tidak bermaksud menyalahkan semuanya, tetapi kasus tersebut sama seperti kasusnya orang yang saling melaknat. Maka bisa dipastikan salah satu diantara mereka adalah fasiq. Serendah-rendanya derajat dua golongan yang berseteru adalah kesaksiannya tidak bisa diterima sebagaimana kesaksian orang-orang yang saling melaknat. Atas dasar pemikiran inilah, maka Mu’tazilah tidak mau menerima kesaksian dari dua orang yang salah satunya berasal dari pengikut Ali dan lainnya dari pengikut Aisyah .
Amr bin Ubaid menudu lebih ganas lagi, yaitu dia menganggap fasiq semua sahabat yang terlibat dalam perang Jamal. Ia berkata: “saya tidak akan menerima kesaksian jama’ah, baik yang berasal dari pengikut Ali maupun yang berafiliasi dengam Aisyah”. Lebih lanjut ia meremehkan para sahabat, sampai-sampai ia berkata: “Jika Ali, Thalhah, dan Jubair bersaksi kepadaku behwa mereka memutus hubungan kerja sama (syuruk), maka dengan tegas saya akan menolak persaksian mereka. Pendapat ini sesuai kebencian dan cacian mereka terhadap para sahabat.
Secara umum sikap Mu’tazilah terhadap sahabat Rasulullah SAW silih berganti. Adakalanya mereka meragukan adalah (kredibilitas) para sahabat sejak terjadinya fitnah, sebagaimana yang dituduhkan oleh Washil bin ‘Atha. Adakalanya mereka menuduh semua sahabat sebagai orang yang fasiq sebagaimna dilontarkan oleh Amr bin Ubaid. Sementara al-Nidzam menuduh para sahabat sebagai para pendusta, bodoh, dan munafik. Maka konsekuensinya, Hadits yang diriwayatkan oleh mereka harus ditolak berdasarkan pendapat Washil bin ‘Atha, Amr bin Ubaid, dan para pengikutnya.
2.5.2 Menolak Hadits Mutawatir
Berdasarkan kesepakatan Ulama, Hadits Rasulullah SAW dinyatakan sebagai sumber hukum kedua dalam syari’at islam. Hadits kalau dilihat dari jumlah periwayatannya, terbagi menjadi dua bagian yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad .
Al-Nidzam memperbolehkan mendustakan Hadits Mutawatir karena kemungkinan terbatasnya para periwayat dalam Hadits tersebut. Berdasarkan pemikiran mereka tentang kekayaan dan kemampuan akal untuk menghapus Hadits, maka mengingkari Hadits Mutawatir tidak dianggap sesuatu yang aneh meskipun merupakan ijma’. Menurut mereka mungkin juga umat bersepakat dalam kesesatan.
Abu al-Huzail berpendapat bahwa hujjah tidak bias ditegakkan terhadap hal-hal yang luput dari panca indera baik itu merupakan Hadit-hadits Nabi maupun lainnya, kecuali jika Hadits tersbut diriwayatkan oleh 20 orang dan satu atau lebih periwayatnya temasuk ahlu jannah (orang yang dijamin masuk surga). Dan di dunia ini tidak sedikit wali Allah yaitu orang-orang yang terjaga dari dosa (ma’shum), tidak berdusta, dan tidak melakukan dosa-dosa besar. Merekalah yang bias disebut hujjah, bukan jumlahnya saja yang banyak. Karena boleh jadi sekumpulan orang banyak yang jumlahnya tidak terhitung, mereka melakukan kedustaan. Penyebabnya tak lain, karena diantara mereka tidak ada wali-wali Allah dan tidak ada satu orangpun diantara mereka yang ma’shum .
Pengingkaran mereka terhadap hadit Mutawatir dan penetapan syariat agar hadits dapat diterima yaitu adanya salah satu rawi yang termasuk ahlu jannah, merupakan salah satu tindakan penolakan terhadap Hadits-hadits yang berkenaan dengan hukum syar’i.
2.5.3 Menolak Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah Hadits yang diriwayatkan satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tapi belum mencapai batas minimal Hadits Mutawatir. Pendapat mayoritas Ulama jika syarat-syarat diterimanya Hadits telah terpenuhi, maka Hadits tersebut menjadi hujjah dan wajib diamalkan. Baik Hadits Ahad itu kualitasnya shahih lidzatihi atau shahih ligairihi, maupun Hasan lidzatihi atau ligairihi. Bahkan sebagian Ulama menyatakan menyataka bahwa Hadits Ahad harus diketahui dan diamalkan.
Kaum Mu’tazilah menyalahi apa yang dikemukakan oleh mayoritas Ulama. Mereka menolak Hadits Ahad dan mensyaratkan adanya jumlah yang banyak. Di antara tokoh Mu’tazilah yang menolak Hadits Ahad adalah Abu Hasan. Ia mengingkari kehujjahan Hadits Ahad. Begitu juga Abu Hudzail Ali al-Jubbai sebaigamana dikatakan al-Maziri dan lainnya, disebut sebagai orang yang tidak mau menerima Hadits, jika hanya diriwayatkan oleh satu rawi adil. Hadits seperti ini dapat diterima denga syarat:
a. Hadits tersebut diperkuat oleh Hadits yang diriwayatkan oleh rawi adil lainnya.
b. Teks Hadits tersbut dikuatkan oleh teks Hadits lainnya atau teksnya tidak bertentangan dengan teks Al-Qur’an.
c. Hadits tersebut diamalkan oleh sebagian Ulama.
Sebagian orang menyatakan bahwa al-Jubbai tidak menerima Hadits kecuali jika Hadits tersebut diriwayatkan oleh empat orang. Dalam menolak Hadits Ahad kaum Mu’tazilah mengemukakan beberapa bukti, diantaranya:
• Peristiwa yang dialami Dzu al-yadain. Ketika itu Nabi menangguhkan berita yang disampaikan sampai ada sahabat yang lain yang memperkuatnya.
• Peritiwa yang dialami oleh Abu Bakar. Pada saat itu tidak menerima berita yang diriwayatkan oleh al-Mughirab mengenai bagian waris nenek, sampai ada sahabat lain yang menguatkannya, yaitu Muhammad bin Maslamah.
• Kisah Umar, saat beliau menangguhkan berita yang diriwayatkan oleh Abu Musa mengenai permintaan izin. Beliau baru mau menerimanya setelah diperkuat oleh Abu Said al-Khudri .
2.5.4 Memalsukan Hadits
Kita telah mengetahui kalau kaum Mu’tazilah itu adalah kaum yang mensyaratkan adanya amal untuk menetapkan sahnya iman. Tetapi pada kenyataannya kebanyakan dari pembesar-pembesar mereka banyak yang menganggap tenteng terhadap kewajiban-kewajiban agama, rendah rasa keberagamaannya, dan tidak berusaha menjauhi perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Hal ini bisa kita lihat dari sikap kesehariannya al-Nidzam, Tsamamah bin Asyras, dan lainnya . Begitu juga dalam hal pemalsuan Hadits, sebagian pembesar-pembesar kaum Mu’tazilah tidak ragu melakukannya. Sebagaimana disebutkan dalam pendahuluan Kitab Shahih Muslim bawasnya ‘Amr bin Ubaid pernah memalsukan Hadits. Di antara Hadits-hadits tentang orang yang mabuk karena meminum anggur tidak di cambuk. Abu Ayyub pernah ditanya tentang keshahihan Hadits tersebut. Maka beliu berkata: “ Bohong dia, saya mendengar al-Hasan al-Bashri berkata bahwa orang mabuk karena meminum anggur tetap dicambuk”. Dan masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lainnya yang hukum-hukumnya disandarkan kepada al-Hasan al-Bashri, namun sebenarnya merupakan pendapat sendiri.
Hadits lain yang diriwayatkan ‘Amr bin Ubaid yang artinya: “ Siapa yang mengangkat senjatanya kepada kita, maka ia tidak termasuk golongan kami”. ‘Auf bin Hamilah pernah ditanya mengenai makna Hadits tersebut. Maka beliu berkata: “ Demi Allah, ‘Amr telah berdusta. Dia meriwayatkan Hadits tersebut hanya untuk mencapai perkataan kejinya. Artinya bahwa ‘Amr meriwayatkan Hadits tersebut hanya untuk menguatkan pendapat kaum Mu’tazilah dalam rangka memfasikkan para pelaku dosa besar dan mengekalkan mereka ke dalam neraka. Yakni ketika seseorang mengenuskan pedangnya ke saudara yang muslim, maka orang tersebut berarti telah melakukan dosa besar. Dengan demikian dia tidak termasuk kedalam barisan umat islam dan konsekuensinya ia kekal didalam neraka .
2.5.5 Sikap Mu’tazilah Terhadap Qiyas Dan Ijma’
Penggunaan Qiyas adalah sesuatu yang lumrah menurut para Ulama. Hal ini berlaku semenjak waktu yang lama, sampai munculnya Ibrahim al-Nidzam dan kaum Mu’tazilah yang menempuh jalan lain yang meniadakan Qiyas. Mereka telah menyalahi apa yang dilakukan Ulama salaf (klasik). Di antara ulama Ahlu Sunnah ada yang mengikuti kaum Mu’tazilah mengenai peniadaan Qiyas dalam penetapan hukum, beliu adalah Daud bin Ali bin Khalaf al-Ashbihani al-Dzahiri (wafat 270 H). Dalam hal ini, Nidzam telah menolak kehujjahan Ijma’ dan Qiyas secara bersamaan. Alasannya, karena hujjah menurutnya terbatas pada pernyataan pimpinan yang ma’shum (terjaga dari melakukan perbuatan dosa). Pendapatnya tersebut mengikuti pola piker sebagian kaum syia’ah yang menjadikan agama tunduk dibawah kendali satu orang, yaitu pimpinan mereka. Sebagian kaum Mu’tazilah ada yang menetang pendapat kaum mereka sendiri yaitu pendapat al-Nidzam. Tokoh yang menentangnya adalah Bisyr bin al-Mu’tamar, Syeikh dan pembesar orang-orang Baghdad, dan Abu al-Hudzail al-Hallaf. Keduannya orang yang membela peggunaan Qiyas dan ijtihad murni dalam menetapkan hukum keduanya dapat mementahkan argument al-Nidzam dan para pengikutnya.
Pandangan kaum mu’tazilah terpecah mengenai masalah Qiyas. Tetapi mereka hamper sepakat menolak ijma’. Ada juga yang menerimanya seperti al-Qadhi Abdul Jabbar misalnya. Beliu menerima kehujjahan Ijma’ berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang artinya: “ umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan, dan berpegang teguhlah kamu dengan jama’ah”.tetapi ia menafsirkan kata jama’ah dengan kata lain. Menurutnya jama’ah adalah apa yang disepakati oleh umat dan hal itu menjadi kepastian karena kesepakata tersebut. Ijma’ menurutnya tidak berkaitan dengan jumlah, tetapi berkaitan dengan kadar ketaatan kepada Allah dan konsistensinya dengan jalan yang lurus. Dengan demikian, Ijma’ itu bias terwujud walaupun hanya ditetapkan oleh satu orang .
Adapun al-Nidzam, secara terang-terangan menolak kehujjahan Ijma’. Kemudian berpendapat bahwa umat dalam setiap masanya mungkin saja melakukan kesepakatan yang salah bila ditinjau dari segi pemikiran dan istidlalnya. Dalam upaya menguatkan pendapat ini, ia berdalil bahwa umat islam sepakat menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk semua umat manusia, tetapi para Nabi lainnya tidak demikian. Permasalahan tidak seperti itu. Semua Nabi yang diutus Allah kebumi, sebenrnya untuk semua makhluk karena ciri-ciri para Nabi sebagaimana telah dikenal telah sampai ke ufuk bumi. Oleh karena itu, orang yang mendapat informasi mengenai seseorang Nabi, maka ia wajib membenarkannya dan mengikutinya. Pemikiran seperti ini jelas bertentangan sabda Rasulullah SAW yang artinya: “ Aku diutus untuk semua manusia dan saya diutus kepada bangsa kulit merah dan hitam. Sementara para Nabi diutus kepada kaumnya sendiri” (HR. Imam al-Bukhari, Al-Nasa’i, dan al-Dzarimi)
2.6 Sebab-Sebab Hilangnya Kaum Mu’tazilah
Sebab-sebab yang mendorong kaum Mu’tazilah melakukan penyimpangan-penyimpangan sangat banyak dan beragam. Sebagian diantaranya berkaitan dengan karakteristik madzhab mereka, metode penerapannya, dan penyebaran madzhab tersebut. Sebagian lainnya berkaitan dengan upaya mencari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh kaum Ahli Sunnah .
2.6.1 Menerapkan Keyakinan Mereka Tentang Iman
Meskipun kaum Mu’tazilah adalah kaum yang menyeruhkan agar memperbanyak amal, dan menjadikan amal sebagai sahnya keimanan. Mereka juga tertolong kaum yang terlalu berlebihan dalam menerapkan konsep mereka tentang ancaman-Nya. Tetapi, kebanyakan pemuka-pemukanya pada awal cenderung merusak akidah mereka sendiri dan sering kali mereka meninggalkan beramal. Bahkan mereka berani memperolok sebagian syiar-syiar Islam. Mereka juga telah melancarkan tuduhan-tuduhan yang tidak patut kepada Rasulullah SAW. Tidak diragukan lagi, kalau mereka adalah kaum yang membangun akidahnya dengan pemikiran-pemikiran non-Islam yang bertentangan dengan syariat Islam.
Al-Nidzam, salah seorang pemuka kaum Mu’tazilah termasuk orang yang sering melakukan dosa. Ia dianggap makhluk Allah yang paling fasiq. Ia juga sering melakukan dosa-dosa besar dan pecandu minuman keras. Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa saya sering mengambil al-zuqq (minuman keras) dari tangannya. Dan saya juga menghalalkan darahnya dialirkan. Sampai-sampai kesabaranku telah habis untuk menasehatinya. Al-Zuqq adalah anggur tanpa ampas .
Abu Hasyim bin ‘Abu Ali al-Jubba’I termasuk orang yang sembrono dalam menerapkan konsep al-wa’id (ancaman Allah kepada orang yang berbuat dosa). Ia menyatakan bahwa Allah SWT tidak menerima taubatnya orang bodoh yang berbuat dosa, yang melakukan dosa karena ketidaktahuannya. Dia adalah orang yang paling fasiq di masanya. Dia juga termasuk pecandu berat minuman keras, sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa ia mati dalam keadaan mabuk .
Diantara pemikirannya yang cukup berpengaruh adalah pandangannya bahwa besuci (wudhu untuk shalat) itu tidak wajib. Ia beralasan bahwa orang lain yang mensucikannya, sementara ia sendiri adalah orang yang sehat, maka hal itu dianggap cukup. Pendapat ini merupakan upaya yang jelas untuk menghancurkan syariat dan membelokkan maksud-maksudnya sudah yang jelas. Pendapat ini menyalahi sabda Rasulullah SAW yang artinya: “ Shalat tidak diterima tanpa bersuci, dan shadakah dari penipuan tidak diterima”. Al-Jahidz menceritakan dalam kitab al-Mudhahak bahwa pada suatu hari al-Ma’mun melihat Tsumamah bin Asyras (salah seorang pemuka kaum Mu’tazilah) sedang mabuk, sampai ia tersungkur ke tanah. Ia berkata kepadanya: “hai Tsumamah!”. Tsumamah menjawab: “ ya ada apa?”. “Apakah kamu tidak malu?”, cetusnya. Tsumamah menjawab: “ Tidak, demi Allah”. Ia berkata: “laknat Allah pantas kaudapatkan”. Tsumamah berkata: “ santai sajalah kamu!”.
Tsumamah juga termasuk orang yang sering melalaikan kewajiban-kewajiban agama. Hal ini bisa dilihat dari teguran yang disampaikan oleh pembantunya. Suatu hari pembantunya berkata: “bangun dan shalatlah, nanti kamu lupa”. Ia mengingatkannya lagi: “bangun dan shalatlah, waktu telah sempit. Habis itu baru kamu istirahat”. Tsumamah berkata: “saya mau istirahat dulu, bisakah kamu meninggalkanku?”.
Inilah salah satu prilaku pemuka kaum Mu’tazilah. Banyak pemuka kaum Mu’tazilah yang dijuluki fasiq dan fajur (orang yang hanyut dalam kemaksiatan). Abu al-Fath al-Azdi menilai washil bin ‘atha sebagai orang yang jelek sifatnya dan kafir. Al-Baghdadi menyebut beberapa golongan pecahan dari kaum Mu’tazilah secara keseluruhan sebagai orang-orang yang berlebih-lebihan dalam kekufuran, seperti golongan al-Khabatiyah dan al-Jamariyah.
2.6.2 Banyak Terjadi Perselisihan Pendapat
Kaum Mu’tazilah adalah kaum yang mengagungkan kemampuan akal. Sehingga menomor duakan keberadaan Al-Qur’an dan Sunnah. Juga sikap mereka yang menjadikan akal sebagai pembimbing dan iman mereka. Maka kita bisa melihat bahwa pada kenyataanya hasil pemikiran akal dan pemahaman itu, sering terjadi pertentangan. Mungkin saja hasil pemikiran sekarang merupakan hal terpuji, tetapi di lain waktu yang paling menghawatirkan pertentangan-pertentangan tersebut terjadi pada masalah akidah. Karena banyak terjadi perbedaan pendapat, maka ibnu Qutaibiyah berkata: “bagaimana kondisi orang-orang yang berselisih pendapat, sehingga kesepakatan dalam masalah agama, dari dua orangpun tidak bias diwujudkan”.
Abu Hudzail al-‘Allaf pendapatnya berbeda dengan al-Nidzam, al-Najjar berbeda dengann keduanya. Kemudian Hasyim bin al-Hakam menyalahi pendapat mereka, begitu juga Tsumamah, Musa, Hasyimal-Awqas, dan lainnya. Masing-masing mempunyai madzhab sendiri dalam beragama, dam masing-masing mempunyai pengikut sendiri-sendiri. Jarang sekali ditemukan suatu masalah yang disepakati diantara mereka. Oleh karena itu dalam setiap pembahasan masalah akan selalu muncul kata-kata Kaum Mu’tazilah berbeda pendapat. Perbedaan pendapat dan pertentangan yang terjadi di antara mereka memuncak sampai pada tingkatan saling mengkafirkan. Mayoritas pemuka Mu’tazilah sering mengkafirkan para pengikut setianya.
Perbedaan pendapat dan pertentangan tidak hanya terjadi antara satu golongan dengan individu tertentu. Tetapi terjadi dalam satu individu. Suatu kali ia berpendapat A, tetapi setelah dianalisa kembali, ia berubah pikiran dan menyatakan B. hal ini pernah terjadi pada diri Abu Sahl Bisyr bin al-Mu’tamar, ia pernah meyakini pendapatnya yang melenceng dari agama dan keluar dari barisan sahabatnya. Tetapi kemudian ia bertaubat dan kembali mengikuti pendapat sahabat-sahabatnya.
Bisyr pernah mengkafirkan muridnya al-Mirdad (‘Isa bin Shubaih), yang dijuluki sebagai pendetanya kaum Mu’tazilah. Abu Hudzail al ‘allaf, al-Nidzam, dan para pemuka kaum Mu’tazilah lainnya secara silih berganti, mereka mengkafirkannya.
Ibnu al-Rawandi (Wafat 298 H) juga menulis sebuah kitab Fadhihah al-Mu’tazilah (kejelekan Mu’tazilah). Sebelumnya dia adalah pengikut kaum Mu’tazilah. Dia juga hampir terjerumus ke lembah athies dan zindik. Selanjutnya kitabnya tersebut dikritik oleh Abu al-Husainal-Khayyath (Wafat 300 H) dalam kitab al-Inthisar.
Demikianlah, apalagi kalau kita melihat karangan-karangan Ahli Sunnah yang membongkar kesesatan kaum Mu’tazilah dan kerancuan madzhabnya. Maka, akan jelaslah kesesatan mereka.
2.6.3 Pemikiran-Pemikiran Kaum Mu’tazilah Yang Bertentangan Dengan Islam
Pengaruh pemikiran filsafat dan agama-agama terdahulu membuat para pemuka kaum Mu’tazilah berani mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan islam dengan akidahnya yang sangat jelas dan gambling. Mereka meniadakan takdir, karena itu mereka disebut kaum Qadariyah. Mereka meniadakan sifat-sifat Allah, maka mereka disebut sebagai golongan al-Nufat (orang-orang yang tidak mempercayai adanya sifat-sifat Allah). Mereka menyatakan Al-Qur’an makhluk dan meniadakan ru’yah (melihat Allah dengan mata kepala) di Hari Kiamat. Bahkan sebagian dari mereka pun meragukan terhadap sesuatu yang ditangkap oleh panca indera. Semua itu merupakan pemikiran-pemikiran sesat yang dipengaruhi oleh filsafat skripturalisme Yunani. Sebagian diantara mereka ada yang mengagungkan keyakinan kaum majusi mengenai supperioritas api dengan segala karakteristiknya yang mengalahkan segala sesuatu.
Pengaruh filsafat dan pemikiran-pemikiran atheis menjadikan mereka berani mendahulukan akal atas syariat. Hal ini sangat kontradiktif dengan pemikiran sebagian di antara mereka yang mengingkari ijtihat dengan akal dalam masalah hukum. Lebih gila lagi sikap mereka terhadap sumber-sumber syariat Islam, khususnya terhadap Hadits. Mereka menghakimi dengan hawa nafsu mereka, sehingga mereka berani menolak Hadits-hadits yang bertentangan dengan pemikiran mereka. Kita tidak boleh meneladani sifat ini (menolak Hadits), tanpa rekomendasi dari orang-orang yang berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, yang terhindar dari pengaruh pemikiran luar.
2.5.4 Perlawanan Terhadap Kaum Mu’tazilah Secara Teoritis
Kaum ahli Sunnah telah berusaha mengadakan perlawanan secara teoritis terhadap pemikiran-pemikiran kaum Mu’tazilah. Hal ini dilakukan dengan cara menulis buku-buku yang mengungkapkan pemikiran-pemikiran mereka yang dianggap telah keluar dari jalur syari’at dan ijma’ kaum muslimin. Dalam karangan-karangan tersebut diungkapkan juga tentang pertentangan-pertentangan dan kebodohan mereka. Sehingga diharapkan kaum muslimin dapat mengetahui hakikat mereka dan menjauhinya. Namun kobaran api yang membara di hati kaum Ahli Sunnah menjadikan mereka terlalu berlebihan dalam mencela kaum Mu’tazilah dan mengkafirkannya. Ibnu Qutaiybah misalnya, dia menulis kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits untuk membantah syuhbat-syuhbat dan kesesatan kaum Mu’tazilah. Meskipun dalam pengantar kitabnya beliau berharap agar para pembaca tidak menuduhnya bahwa ia sengaja menyampaikan berita yang salah, terpengaruh oleh hawa nafsu, dan rasa permusuhan. Tetapi kenyataannya, beliau juga sempat mencaci maki dalam menggambarkan penyimpangan dan kesesatan kaum Mu’tazilah.
Begitu juga Abdul Qadhir al-Baghdadi dalam kitab al-Farq baiyna al-Firaq. Beliau terlalu berlebihan dalam mengkafirkan kaum Mu’tazilah dan menghalalkan darah dan harta mereka. Bersamaan kitab tersebut , dia juga menulis kitab yang bernama al-Harb ‘ala Ibnu Harb. Kitab ini berisikan kritikan terhadap dasar-dasar dan bab-bab yang ada pada kitabnya Ja’far al-Harb, yang dipenuhi dengan kesesatan-kesesatan. Demikianlah salah satu contoh perlawanan terhadap kaum Mu’tazilah secara teoritis yan sampai saat ini kaum Mu’tazilah mendapat julukan kaum yang menyimpang dari agama dan jauh dari syariat. Namun hal ini kadang terbalik, bahkan oleh kalangan Ulama dan orang-orangs hahih sekalipun.
2.7 Keutamaan-Keutamaan Kaum Mu’tazilah
Meskipun kaum Mu’tazilah dicap sebagai kaum yang telah keluar dari jalan Islam dan banyak melakukan penyimpangan. Tetapi mereka juga banyak mempunyai keutamaan-keutamaan. Hal ini tercermin dalam sikapnya para pemuka Mu’tazilah yang konsisten menerapkan konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar (memerintah yang baik dan melarang kejahatan) kepada sebagian besar orang-orang yang amoral. Washil bin ‘Atha pernah mengasingkan Basysyar bin Bard dari Bashrah ke Kharan. Ia tidak berani kembali ke Bashrah, kecuali setalah Washil wafat. Sebenarnya ia sudah diancam hukuman mati, tetapi Washil tidak mau membunuhnya. Sikap Washil yang seperti ini sangat kontras dengan pandangan kaum Mu’tazilah pada umumnya yang cenderung membolehkan menerapkan hukuman mati.
Pada tahun 145 H Basyir pernah melakukan suatu lawatan bersama rombongan kaum Mu’tazilah seperti Ibrahim bin Abdullah bin al-Hasan bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib. Mereka menunjukkan rasa sabar yang luar biasa, mereka tahan disiksa, bahkan sampai di bunuh sekalipun. Etos kerja kaum Mu’tazilah dalam rangka menyebarkan dakwah mereka ke segala penjuru dunia sangat tinggi sekali. Mereka telah mengirimkan da’i-da’inya ke dunia Timur maupun Barat untuk menyebarkan agamanya. Namun demikian, mereka banyak merusak hukum-hukum syari’at dengan melandaskan dan mendasarkan pemikiran mereka pada hawa nafsu (akal) dan dianggap kaum yang berbahaya.





BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan sebelumnya maka dapat kami simpulkan bahwa asal-usul munculnya kaum Mu’tazilah berasal wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh hasan Al-Basri di masjid Basrah, saat itu datang seseorang yang bertanya mengenai pendapat hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika hasan masih berfikir Wasil mengatakan pendapatnya bahwa orang berbuat dosa besar bukanlah mu’min dan bukanlah kafir. Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ketempat lain dilingkungan masjid. Disana wasil mengulangi pendapatnya didepan pengikutnya. Dengan peristiwa ini Hasan berkata, “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna)”. Kelompok yang memisahkan diri dalam peristiwa ini disebut kaum Mu’tazilah.
Terdapat lima ajaran dasar dari mazhab Mu’tazilah yaitu tentang at-tauhid (pengesaan tuhan), Al-Adl (keadilan tuhan), al- waad wa al-wa’id (janji dan ancaman tuhan), Al-Manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi) dan al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an mungkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran)
Kaum mu’tazilah tidak menjadikan asunnah sebagai sumber hukum yang kedua. Jika mereka mendapat ayat-ayat Al-Qur’an yang menyalahi dasar pemikiran mereka, maka mereka akan menta’wilnya (memberikan interpretasi lain). Jika yang menyalahi itu Hadits-hadits Nabi, maka mereka akan mengingkarinya. Dengan demikian sikap mereka terhadap Hadits, seperti sikap orang yang meragukan otentisitasnya, bahkan terkadang sikap mereka seperti orang yang tidak mempercayai hadits, karena mereka mengguanakan akal untuk menghukumi Hadits bukan Hadits untuk menghukumi akal.
Sebab-sebab yang menyebabkan hilangnya mazhab mu’tazilah karna mu’tazilah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan dan beragam jenisnya. Mereka juga menerapkan keyakinan mereka tentang iman, banyak terjadi perselisihan pendapat pemikiran-pemikiran kaum mu’tazilah yang bertentangan dengan islam dan juga terjadi perlawanan terhadap kaum Mu’tazilah secara teoritis yang dilakukan oleh ahli Sunnah.
Meskipun kaum Mu’tazilah dicap sebagai kaum yang telah keluar dari jalan Islam dan banyak melakukan penyimpangan. Tetapi mereka juga banyak mempunyai keutamaan-keutamaan. Hal ini tercermin dalam sikap pemuka Mu’tazilah yang konsisten menerapkan konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar (memerintah yang baik dan melarang kejahatan) kepada sebagian besar orang-orang yang amoral.
















DAFTAR PUSTAKA
Al-jabbar bin Ahmad. 1965. Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, Kairo; Maktab Wahbah.
Husain, Lububah. 2003. Pemikiran Hadits Mu’tazilah. Jakarta; Pustaka Firdaus.
Muhammad, imam. Aliran politik dan Aqidah dalam islam. Jakarta; Logos publishing house.
Nasution, harun. 2002. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta; UI-Press.
Nurcholish Madjid. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon. 2009. Ilmu Klam. Bandung; Pustaka Setia Bandung.
Sarkowi. 2010. Teologi Islam Klasik. Malang. Resist Literaci. 2010.
Syahrastani, Asy. 2006. Al-Milal Wa Al-Nihal Aliran-Aliran Teologi Dalam Islam. Surabaya; PT Bina Ilmu.

free will and predestination

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Akidah bagi setiap muslim merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang wajib diyakini. Dalam al-Qur’an akidah disebut dengan al-Iman (percaya) yang sering digandengkan dengan al-Amal (perbuatan baik) tampaknya kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam ajaran Islam.
Dasar-dasar akidah Islam telah dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui pewahyuan al-Qur’an dan kumpulan sabdanya untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah Saw telah meyakini dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu lantaran rumusan tersebut belum diperlukan.
Pada periode selanjutnya, persoalan akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam Tuhan (al-Qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Kata kalam berkaitan dengan kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti alasan atau argumen Ahmad Mahmud Shubhi mengutip defenisi ilmu kalam versi Ibnu Khaldun bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membahas tetang persoalan-persoalan dasar keimanan dengan menggunakan dalil akal dan menolak unsur-unsur bid’ah.
Dari defenisi dapat dipahami bahwa pembahasan ilmu kalam adalah untuk mempertahankan akidah. Dasar-dasar akidah yang termaktub di dalam al-Qur’an dianalisa dan dibahas lebih lanjut dengan menggunakan logika untuk mendapatkan keyakinan yang lebih kokoh.
Persoalan kalam lainnya yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan tuhan dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman.
Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? atau manusia sendiri ? atau kerja sama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan Aliran Fatalis (predestination) yang diwakili oleh Qadariah dan Freewill yang diwakili Qadariah dan Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariah dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan.
Persoalan ini kemudian meluas dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak? apakah perbuatan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan pembahasan tentang perbandingan antar aliran, khususnya membahas tentang “Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia” dan permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana perbuatan Tuhan menurut aliran-aliran Kalam?
2. Bagaimana perbuatan manusia menurut aliran-aliran Kalam?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memilki kemampuan untuk melakukannya.1
1. Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah, karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu manganut paham qadariah atau free will. Dan memang mereka juga disebut kaum Qadariah.2 Pula keterangan dan tulisan-tulisan para pemuka Mu’tazilah banyak mengandung paham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Al Jubba’I umpamanya, menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatnnya., manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kemauannya sendiri. Dan daya (al istita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama diberikan pula oleh “abd al-Jabbar. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia bukanlah diciptakan manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan.4 Perbuatan ialah apa yang dihasilakan dengan daya yang bersifat baharu.5 Manusia adalah manusia yang dapat memilih.6
Keterangan-keterangan di atas dengan jelas mengatakan bahwa kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia. Tetapi selanjutnya tidak jelas apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri. Dalam hubungan ini perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak dan daya untuk melaksanakan kehendak itu, dan kemudian barulah terwujud perbuatan.
Di sini timbul pertanyaan, daya siapakah dalam paham Mu’tazilah yang mewujudkan perbuatan manusia, daya manusia atau daya Tuhan? Dari keterangan-keterangan Mu’tazilah di atas, mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa karena perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan, maka daya yang mewujudkan perbuatan itu tak boleh tidak mesti daya manusia sendiri dan bukan daya Tuhan. Sungguhpun demikian masih timbul pertanyaan lain. Apakah daya manusia sendiri yang mewujudkan perbuatnnya ataukah daya Tuhan turut mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatan itu?
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak Rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam al-Qur’an pun jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya diatas adalah surat al-Anbiyaa (21):23 dan surat ar-Rum (30) : 8.
Berikut merupakan ayat al-Qur’an al-Anbiyaa (21):23
      
23. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.
Berikut merupakan ayat al-Qur’an ar-Rum (30) : 8
     •            •   ••    
8. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan dengan Tuhannya.

Qadi Abd al-Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan yang Maha suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu adapun ayat yang kedua, menurut al-Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
Kalau kita cermati, teologi yang diusung, baik oleh Mu’tazilah ataupun Asy’riyah, pada dasarnya ingin membela Allah subhanahu wa ta’ala. Mu’tazilah dengan teologi mirip Qadariyah, membela Allah subhanahu wa ta’ala dalam masalah keadilan. Bagi mereka, Allah subhanahu wa ta’ala itu harus adil. Dia tidak mungkin dinisbatkan dengan kejahatan dan kedzaliman, yang keduanya itu, terdapat dalam perbuatan manusia. karenanya, bagi mereka perbuatan dzalim, buruk, jahat dan juga perbuatan baik itu merupakan perbuatan murni manusia. Namun, tanpa disadari, dengan teologinya ini mereka menafikan kekuasaan dan kehendak Mutlak Allah subhanahu wa ta’ala. Di lain sisi, dengan penekanan yang berbeda, bahkan mungkin bisa dikatakan bertentangan, Asy’ariyah menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa dan berkehendak secara Mutlak. Dia bisa saja melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Dia bisa saja memasukkan orang yang suka maksiat ke dalam surga. Karena dari awal, surga dan Neraka sudah ditetapkan penghuninya. Namun, Asy’ari juga terjebak. Dia, disadari atau tidak, menafikan keadilan, rahmat dan hikmahNya. Mungkin perkataan Muthahhari ada benarnya juga. Dengan memberi tekanan kuat pada prinsip keadilan, kata dia, Mu’tazilah telah mengorbankan tauhid af’al, tetapi dengan memberi tekanan kuat pada tauhid af’al, Asy’ariyah telah mengorbankan prinsip keadilan.7
Dengan demikian menjadi jelas bahwa bagi Mu’tazilah, daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia. Perbuatan ini diwujudkan semata-mata oleh daya yang diciptakan Tuhan di dalam diri manusia.
Jadi dalam paham kaum Mu’tazilah, kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah kemauan dan daya manusia sendiri dan tak turut campur dalamnya kemauan dan daya Tuhan. Oleh karena itu perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan. Sebagai akan dilihat nantinya kaum Asy’ariah mempunyai paham berlainan.
Untuk memperkuat paham di atas, kaum Mu’tazilah membawa argumen-argumen rasional dan ayat-ayat al-Qur’an. Ringkasan argumen-argumen rasional yang dimajukan oleh ‘Abd al-Jabbar umpamanya, adalah sebagai berikut. Manusia dalam berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada manusia yang berbuat kebaikan itu. Demikian pula dalam melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik yang diterimanya, manusia menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan baik atau buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima kasih dan rasa tidak senang itu akan ditujukan manusia kepada Tuhan dan bukan kepada manusia.
Seterusnya perbuatan-perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak manusia. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan itu terjadi. Tetapi sebaliknya, jika seseorang tidak ingin berbuat sesuatu itu tidak terjadi. Jika sekiranya perbuatan manusia bukanlah perbuatan manusia, tetapi perbuatan Tuhan, maka perbuatannya tidak akan terjadi sungguhpun ia mengingini dan menghendaki perbuatan itu, atau perbuatannya akan terjadi sungguhpun ia tidak mengingini dan tidak menghendaki perbuatan itu.
Lebih lanjut lagi ia menerangkan bahwa manusia berbuat jahat terhadap sesama manusia. Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, perbuatan jahat itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian bersifat zalim. Hal ini tak dapat diterima akal.
Ayat-ayat yang dimajukan ‘Abd al-Jabbar, untuk memperkuat argumen-argumen rasional di atas, antara lain adalah :

  •    
“Yang membuat segala yang dijadikan-Nya baik”

Ayat ini, kata ‘Abd al-Jabbar, mengandung dua arti. Pertama ahsana berarti “berbuat baik” dan dengan demikian semua perbuatan Tuhan merupakan kebajikan kepada manusia, dan ini tidak mungkin, karena diantara perbuatan-perbuatan Tuhan ada yang tidak merupakan kebajikan, seperti siksaan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu yang dimaksud dengan ahsana di sini ialah arti kedua yaitu baik. Semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian perbuatan manusia bukannlah perbuatan Tuhan, karena diantara perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan-perbuatan jahat.
Juga dimajukan ayat-ayat yang mengatakan bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya seperti :

   
“….. sebagai upah atas apa yang mereka perbuat”

Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, pemberian balasan dari Tuhan atas perbuatan manusia, seperti disebut dalam ayat ini, tidak ada artinya. Agar ayat ini tidak mengandung dusta, demikian ‘Abd al-Jabbar, perbuatan-perbuatan manusia haruslah betul-betul perbuatan manusia.
Seterusnya dibawakan pula ayat :

      
“Siapa yang mau, percayalah ia, dan siapa yang tidak mau, janganlah ia percaya.”

Ayat ini memberi manusia kebebasan untuk percaya atau tidak percaya. Sekiranya perbuatan manusia bukanlah sebenarnya perbuatan manusia, ayat ini tak ada artinya.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia kewajiban-kewajiban tersebut dapat disimpulkan dalam satu hal yaitu kewajiban berbuat terhadap manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham kewajiban Allah berikut ini :
a. Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia.
Memberi beban di luar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia.
b. Kewajiban mengirimkan Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman Rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman Rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim Rasul. Tanpa Rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c. Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
Dalam masalah "free will" dan "predestination" serta konsep iman, Yunan menemukan pemikiran Hamka tentang kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat. Dengan akalnya manusia bisa menimbang mana yang buruk dan mana yang mendatangkan kebaikan. Namun, Hamka tetap mengakui jangkauan takdir sebagai manifestasi dari kekuasaan Tuhan.
Sejalan dengan itu, konsep iman tidak hanya meniscayakan sekedar tasdiq tetapi juga ma'rifah dan 'amal. Ini didasarkan pada keberadaan teologi sebagai sebuah paham keagamaan yang akan menentukan bentuk watak sosial penganutnya, serta memberi warna pada tindakan dan tingkah laku dalam setiap aspek kehidupannya, yang pada gilirannya akan memberikan arah pada jalan hidup itu sendiri.
2. Aliran Asy’ariah
Menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat dan yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia, Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul pada manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari sudut faham ini, pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah, manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
Kalau kita cermati, teologi yang diusung, baik oleh Mu’tazilah ataupun Asy’riyah, pada dasarnya ingin membela Allah subhanahu wa ta’ala. Mu’tazilah dengan teologi mirip Qadariyah, membela Allah subhanahu wa ta’ala dalam masalah keadilan. Bagi mereka, Allah subhanahu wa ta’ala itu harus adil. Dia tidak mungkin dinisbatkan dengan kejahatan dan kedzaliman, yang keduanya itu, terdapat dalam perbuatan manusia. karenanya, bagi mereka perbuatan dzalim, buruk, jahat dan juga perbuatan baik itu merupakan perbuatan murni manusia. Namun, tanpa disadari, dengan teologinya ini mereka menafikan kekuasaan dan kehendak Mutlak Allah subhanahu wa ta’ala. Di lain sisi, dengan penekanan yang berbeda, bahkan mungkin bisa dikatakan bertentangan, Asy’ariyah menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa dan berkehendak secara Mutlak. Dia bisa saja melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Dia bisa saja memasukkan orang yang suka maksiat ke dalam surga. Karena dari awal, surga dan Neraka sudah ditetapkan penghuninya. Namun, Asy’ari juga terjebak. Dia, disadari atau tidak, menafikan keadilan, rahmat dan hikmahNya. Mungkin perkataan Muthahhari ada benarnya juga. Dengan memberi tekanan kuat pada prinsip keadilan, kata dia, Mu’tazilah telah mengorbankan tauhid af’al, tetapi dengan memberi tekanan kuat pada tauhid af’al, Asy’ariyah telah mengorbankan prinsip keadilan.8
3. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian Tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman Rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
2.2 Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Maka di sini timbullah pertanyaan, sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup?, dan apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?.9
Mungkin terbersit pertanyaan, apa hubungannya free will dan Predistintion dengan Qadariyah dan Jabariyah, sehingga kedua aliran tersebut dijadikan acuan dalam pendahuluan. Menurut Harun Nasution yang kemudian diikuti Dr. Hasan Zaini, Qadariyah dalam isitlah inggrisnya dikenal dengan nama free will, sedangkan Jabaiyyah dikenal dengan sebutan predestination atau fatalism,10 Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat sekali antara istilah-istilah itu. Namun, disini yang akan dibicarakan bukan mengenai kedua aliran itu (baca; Qadariyah dan Jabariyah), melainkan nilai dan fahamnya. Lagi pula, baik Qadariyah ataupun Jabariyah keduanya itu lebih cenderung merupakan kelompok politik ketimbang aliran pemikiran murni (Madzhab).11
Dalam memperbincangkan soal kehendak Tuhan, al-Asy’ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Ayat yang dipakainya untuk memperkuat pendapat itu adalah :

      
“kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki,”
yang oleh al-Asy’ari diartikan bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu. Jadi seseorang tidak bisa menghendaki pergi ke Mekkah, kecuali jika Tuhan menghendaki seseorang itu supaya berkehendak pergi ke Mekkah. Ini jelas mengandung arti kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan dan bahwa kehendak yang ada dalam diri manusia sebenarnya tidak lain dari kehendak Tuhan.
Mengenai daya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan, al-Asy’ari berpendapat bahwa daya itu adalah lain dari diri manusia sendiri, karena diri manusia terkadang berkuasa dan terkadang tidak berkuasa, Daya tidak berwujud sebelum adanya perbuatan; daya ada bersama-sama dengan adanya perbuatan dan daya itu ada hanya untuk perbuatan yang bersangkutan saja. Sebagai argumen al-Asy’ari mengatakan bahwa orang yang dalam dirinya tidak diciptakan Tuhan daya, tidak bisa berbuat apa-apa.
Keterangan al-Asy’ari ini juga mengandung arti bahwa daya untuk berbuat sebenarnya bukanlah daya manusia, tetapi daya Tuhan. Dan dalam menyerang kaum Qadariah, al-Asy’ari memang menentang pendapat mereka dalam hal ini. Dalam paham mereka seperti telah dilihat, daya untuk berbuat adalah daya manusia sendiri dan bukan daya Tuhan. Al-Asy’ari menyatakan pendapat sebaliknya, yaitu bahwa daya untuk berbuat adalah daya Tuhan dan bukan daya manusia.
Keterangan yang lebih tegas dalam hal ini diberikan diberikan oleh al-Baghdadi ketika ia menyebut bahwa perbuatan mengangkat batu berat adalah contoh yang biasa diberikan oleh kaum Asy’ariah tentang al-kasb. Ada orang yang sama sekali tek sanggup mengangkat batu itu dan ada pula yang sanggup mengangkatnya. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu berat itu, perbuatan mengangkat batu dilakukan oleh orang yang sanggup mengangkatnya, tetapi itu tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu tidak turut mengangkat. Demikianlah pulalah perbuatan manusia. Perbuatan pada hakikatnya terjadi dengan perantaraan daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tak kehilangan sifat sebagai pembuat (fa’il).
Al-Ghazali juga memberi keterangan yang sama. Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia dan daya untuk berbuat dalam diri manusia. Perbuatan manusia terjadi dengan daya Tuhan dan bukan dengan daya manusia, sungguhpun yang tersebut terakhir ini rapat hubungannya dengan perbuatan itu. Oleh karena itu tak dapat dikatakan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya. Untuk itu harus dicari term baru, kata al-Ghazali selanjutnya, dan sesuai dengan apa yang disebut dalam al-Qur’an, perbuatan manusia disebut al-kasb.
Dalam paham al-Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan yang efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan. Sebagai diterangkan oleh al-Isfarayini daya manusia tidaklah efektif kalau tidak disokong oleh daya Tuhan. Oleh karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa daya manusia lebih dekat merupakan impotensi daripada merupakan yang lain.
Maududi berpijak pada manusia dikaruniai akal dan pikiran, maka ia mampu berpikir dan mengambil keputusan, memilih dan menolak, mengambil dan mengesampingkan sesuatu. Ia bebas menjalani hidup sesuai dengan pemilihannya. Ia bebas memeluk agama, mengambil jalan hidup, merumuskan kehidupan menurut kehendaknya. Dapat dan boleh menciptakan peraturannya sendiri atau mengikuti yang diciptakan orang lain. Ia diberi kebebasan dan dapat menentukan tingkah lakunya. Pada aspek ini manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Ia diberi kebebasan dalam berpikir, memilih dan bertindak.12
Dengan demikian, karena akal dan pikirannya itulah yang menyebabkan manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan sesuatu ataupun meninggalkannya, dan karena itu pulalah yang membedakannya dari makhluk hidup lainnya.
Adanya predestinasi bagi manusia, menurut Maududi hanyalah dalam bidang biologi, seperti kelahiran, pertumbuhan dan kehidupan yang diatur secara biologis. Manusia tidak lepas dari hukum tersebut. Semua organ tubuh manusia mematuhi aturan itu. Dengan kata lain, alam semesta beserta seluruh isinya, mengikuti ketetapan yang berlaku yang memang ditetapkan sebagai hukum untuk mengatur alam semesta itu, yang disebut hukum Allah SWT.13
1. Aliran Jabariyah
Dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya. Salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2. Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah al-Qur’an adalah Sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri banyak ayat al-Qur’an yang mendukung pendapat ini misalnya dalam surat al-Kahfi ayat ke-29 yang artinya : “Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”
3. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Sungguhpun dalam paham Qadariah atau Mu’tazilah manusia bebas dalam kehendak dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan manusia dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai manusia sendiri, umpamanya saja manusia datang ke dunia ini bukanlah atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan diketahuinya telah mendapati berada di bumi ini. Demikian pula menjauhi maut; tiap orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati. Tetapi bagaimanapun sekarang atau besok maut datang juga.
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya, dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun antara lain dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau, manusia sesuai dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan dilingkungi oleh oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak dapat diubah manusia. Manusia harus tunduk kepada hukum alam itu. Api, nalurinya ialah membakar. Manusia tak dapat mengubah naluri ini. Yang dapat dibuat oleh manusia ialah membuat atau menyusun sesuatu yang tak dapat dimakan api. Ada tubuh manusia yang tak terbakar kalau bersentuh dengan api. Dipandang dari sudut paham Qadariah atau Mu’tazilah, sebenarnya bukan api yang tak membakar, tetapi tubuh tertentu itulah yang tak dapat dibakar api. Tak dapat dibakar api, melalui proses tertentu, siapa yang sanggup menjalankan latihan-latihan tertentu itu, umpamanya kaum fakir yang dikenal di India, kakinya tak dibakar oleh api.
Dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan, manusia dapat pula menyusun suatu zat yang tak dapat dibakar oleh api, umpamanya asbestos. Sebagaimana halnya dengan tubuh manusia tadi, api tetap mempunyai naluri membakar, tetapi asbestos mempunyai naluri tahan api. Dan oleh karena itu, asbestos tak dapat dibakar oleh api.
Kebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham qadariah bisa disalahartikan mengandung paham, bahwa manusia adalah bebas sebebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada hakikatnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.
4. Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S. Ash-shaffat : 96).
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.
Jadi berlainan sekali dengan kaum Mu’tazilah, kaum Asy’ariah berpendapat bahwa kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri, sebagai ditegaskan oleh al-Asy’ari, adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia.
Bagi golongan Maturidiah perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan. Dalam hubungan ini, al-Maturidi, sebagai pengikut Abu Hanifah, menyebut dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan, jadi tidak sebelum perbuatan seperti dikatakan kaum Mu’tazilah. Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Pemberian upah dan hukum didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan. Dengan demikian manusia diberi hukuman atas kesalahan pemakaian daya dan diberi upah atas pemakaian yang benar dari daya.
Al-Maturidi menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu merupakan daya manusia, seperti dijelaskan Mu’tazilah ataukah daya Tuhan seperti Asy’ariah. Berpegang kepada pendapatnya bahwa daya adalah yang diciptakan dalam diri manusia dan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya, daya untuk berbuat itu tak boleh tidak mestilah daya manusia, karena orang tidak dapat memendang sesuatu perbuatan sebagai perbuatannya sendiri, kalau bukanlah ia sendiri yang mewujudkan perbuatan itu. Kaum Asy’ariah, karena memandang perbuatan adalah perbuatan Tuhan, tidak berani memandang perbuatan manusia sebagai perbuatan manusia sebenarnya.
Mengenai soal kehendak, keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti bahwa kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Karena salah atau benarnya pilihan dalam memakai dayalah maka manusia diberi hukuman atau upah. Manusia tentu tidak dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada di bawah paksaan daya yang lebih kuat dari dirinya.
Sungguhpun demikian, di dalam pendapat aliran Maturidiah, baik golongan Samarkand maupun golongan Bukhara, kamauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. Dan ini selanjutnya mengandung arti paksaan atau fatalism dan bertentangan dengan paham al-Maturidi tentang kebebasan memilih yang disebut di atas. Tetapi sebagai pengikut Abu Hanifah, al-Maturidi membawa ke dalam hal ini paham masyi’ah atau kemauan dan rida atau kerelaan. Manusia melakukan segala perbuatan baik dan buruk, atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan hati Tuhan. Tuhan tidak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya manusia berbuat baik atas kehendak Tuhan dan dengan kerelaan hati Tuhan; sebaliknya betul manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan hati Tuhan.
Jadi kehendak dalam paham al-Maturidi bukanlah kehendak bebas yang terdapat dalam paham Mu’tazilah. Kebebasan kehendak di sini bukanlah kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tak dikehendaki Tuhan, tetapi kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak disukai Tuhan. Dengan perkataan lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan dalam memilih antara yang disukai dan apa yang tidak disukai Tuhan. Jelas bahwa kebebasan serupa ini lebih kecil dari kebebasan dalam menentukan kehendak yang terdapat dalam aliran mu’tazilah.
Dengan demikian kehendak dan daya berbuat bagi al-Maturidi adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan.
Perbedaan lain yang terdapat antara paham al-Maturidi dan Mu’tazilah ialah bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan yang bersangkutan. Daya yang demikian kelihatannya lebih kecil dari daya yang ada dalam paham Mu’tazilah. Oleh karena itu manusia dalam paham al-maturidi tidak sebebas manusia dalam paham Mu’tazilah.
Adapun Maturidiah golongan Bukhara, maka bagi mereka, menurut apa yang dijelaskan al-Bazdawi, kehendak berbuat adalah sama dengan kehendak yang terdapat dalam paham golongan Samarkand. Mereka juga mengikuti Abu Hanifah dalam paham kehendak dan kerelaan hati Tuhan. Kebebasan kehendak bagi mereka hanyalah juga kebebasan untuk berbuat tidak dengan kerelaan hati Tuhan. Daya juga sama, yaitu daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Pendapat bahwa daya diciptakan sebelum perbuatan, kata al-Bazdawi, adalah salah besar dan akan membawa kepada keyakinan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Tentang perbuatan Tuhan semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah (pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut Ma’bad al-Jauhari dan Ghailan ad-Dimsyaqi).
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri.
3.2 Saran
Persoalan kalam tidaklah harus diyakini, tapi cukup untuk dipelajari saja, terutama tentang aliran-aliran yang berpandangan tentang perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Afif, Muhammad. 2004. Dari teologi ke ideologi : metode telaah atas metode dan pemikiran teologi Sayyid Quthb. Pena Merah: Bandung.
Dr. Hasan Zaini MA. 1997. Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi cet. I. Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta.
Harun Nasution. 2002. Teologi Islam Edisi Kedua, Cet. I. UI-Press: Jakarta.
Maududi, Abul A’la. 1960. Towards Understanding Islam. One Seeking Mercy of Allah: Lahore.
Rozak, Abdul,. 2006. Ilmu Kalam. Cet. II: Pustaka Setia: Bandung.
Sarjoni, ILMU KALAM “Perbandingan Antar Aliran : Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia”, (Online) 2010. (http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/., diakses tanggal 30 September 2011).
Subhani, Ja'far. 1997. Al-Milal wan-Nihal: studi tematis Mazhab Kalam. Al-Hadi: Pekalongan.
Wardani. 2003. Epistimologi Kalam Abad Pertengahan. LKiS: Yogyakarta.

hakim dan hukum

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini banyak fenomena-fenomena yang muncul di kalangan masyarakat yang sudah jelas hukumnya seperti riba, meminum-minuman keras, berbuat zina. Hal ini hukumnya sudah jelas yakni haram tetapi tetap saja dilakukan oleh banyak orang..
Agama islam datang di tengah-tengah masyarakat salah satunya yaitu untuk meluruskan dan menyelesaikan berbagai permasalahan dengan benar. Islam datang ke tengah-tengah masyarakat dengan membawa syari'ah (system hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur hukum-hukum yang ada dalam masyarakat melalui wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.
Hukum Islam (Islamic Law) merupakan perintah-perintah suci dari Allah SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan setiap Muslim, dan meliputi materi-materi hukum secara murni untuk mengatur kehidupan masyarakat serta materi-materi spiritual keagamaan.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hakim dan hukum?
2. Apa saja macam-macam hukum islam?
3. Apa perbadaan hukum fih dan hukum ilaih?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian hakim dan hukum
2. Mengetahui macam-macam hukum islam
3. Mengetahui perbadaan hukum fih dan ilaih







BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Hakim
Secara etimologi hakim mempunyai dua pengertian yaitu:
وَاضِعُ الأَحْكَامِ وَمُثَبِّتُهَاوَمُنْشِئُهَا وَمُصَدِّ رُهَا
Artinya:
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum”
اَلَّذِيْ يُدْرِكُ اْلاَحْكَامِ وَيُعْرِفُهَا وَ يُكْشِفُ عَنْهَا
Artinya:
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyikapkan”.
Hakim merupakan persoalan yang cukup cukup penting dalam ushul Fiqh, karena berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at islam atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya.
Disepakati bahwa wahyu merupakan sumber syari’at. Adapun sebelum datangnya wahyu, para ulama’ memperselisihkan peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi.
Dari pengertian hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam islam tidak ada syari;at kecuali dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib,sunnah,haram,makru,dan mubah) maupun berkaitan dengan hukum-hukum wadhi’ (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama’, semua hukum di atas bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad SAW, maupun hasil ijtihad para mujtahidmelalui berbagai teori istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini, para ulama ushul fiqh menetapkan kaidah

لاَحُكْمَ اِلاَّلله
Artinya:
“tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”
1.2 Pengertian Hukum
Secara etimologi , hukm (الحكم)berarti ma’nu (المغن) yakni “mencegah”. Hukum juga berarti qadha’ (القضاء) yang memiliki arti “memutuskan”. Mayoritas ahli ushul Fiqh mendefinisikan hukum sebagai berikut :

خطابالله اامتعلق بأفعال المكفين بالإقتضإ أولتخييرأوالوضع

“ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan melakukan atau ,meninggalkan, atau pilihan atau berupa ketentuan”.

Yang dimaksud khitab Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik al-qur’an, As-Sunnah maupun yang lainnya, seperti ijma’ dan kiyas. Namun, para ulama’ ushul kontenporer, seperti Ali Hasaballah dan Abdul Wahab Halaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil disini hanya Al-qur’an dan As-sunnah. Adapun ijma’ dan kiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari Al-qur’an dan sunnah tersebut. Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada kedua dalil tersebut tidak semestinya disebut sebagai sumber hukum.
Yang dimaksud dengan perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati,seperti niat dan perbuatan ucapan, seperti ghiba (mengunjing) dan namimah (mengadu domba).
Yang dimaksud denga imperatif (iqtidha) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu, yakni memerintah atau tuntunan untuk meninggalkannya yakni melarang, baik tuntutan itu bersifat memaksa ataupun tidak. Sedangkan yang yang dmaksud tahyir (fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan posisi yang sama.
Dan yang dimaksud wadh’i (mendudukan sesuatu) adalah memposisikan sesuatu sebagi penghubung hukum , baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang.
Dari definisi ini dapat dipahami beberapa hal:
1. Khitab Allah yang berhubungan dengan selain perbuatan mukallaf bukan hukum syara’ menurut para ahli ushul fiqh, seperti khitab Allah yang berkaitan dengan zat dan sifatnya dalam surat Al-Ankabut,29:62:

 •    
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

2. Dalam pandangan ahli ushul Fiqh bahwa hukum adalah khitab Allah itu sendiri. Sementara hukum dalam pandangan para ahli fiqh adalah apa ya ng dikandung oleh hitab Allah tersebut.Misalnya firman Allah dalam surat Al-Isra’17:32:
         
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Menurut ahli ushul fiqh ayat ini adalah hukum. Sedangkan ahli fiqh menyatakan bahwa yang hukum itu adalah keharaman zina yang di informasikan oleh ayat itu.
Selain itu, dari definisi hukum di atas dapat diketahui beberapa hal. Istilah khitab Allah dari definisi ini adalah kalam allah yanng langsung terdapat dalam Al-qur’an atau kalam Allah melalui perantaraan yang beasal dari sunnah, ijma’dan semua dalil-dalil syara’ yang dihubungkan kepada Allah untuk mengetahui hukumnya.

1.3 Pembagian Hukum
Hukum syara’ adalah firman Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik yang berbentuk tuntutan kebolehan atau menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani’. Jadi setiap nas yang mengandung tuntutan, kebolehan dan ketentuan yang menetapkan sesuatu menjadi syarat, sebab atau mani’ dinamakan khitab.
Hukum syara’ menurut para ahli ushul ialah akibat dari khitab Allah itu pada perbuatan mukallaf, seperti wajib, haram dan mubah. Mungkin timbul perkiraan sebagian orang bahwa hukum syara’ itu terbatas pada yang tercantum pada nash saja, karena ijma’, qiyas, dan sumber-sumber lain tidak termasuk hukum syara’. Namun sebenarnya hukum syara’ itu ada yang dicantumkan melalui nash yang ditunjuk dengan jelas, tetapi ada pula yang ditunjuk secara tidak jelas, inilah hukum syara’ yang diambil dari sumber-sumber lain seperti ijma’, qiyas, dan sebagainya.
Dipahami dari batasan hukum syara’ yang diterangkan di atas bahwa hukum syara’ itu ada dua macam yaitu hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatn mukallaf yang mengandung tuntutan dan kebolehan dinamakan hukum takhlifi dan yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani; dinamakan hukum wad’i.

1.3.1 Hukum Takhlifi
Hukum Takhlifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.
 Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:
   •     
“ Dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat”(QS. An-Nuur:56)
 Contoh firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
             ••    
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.(QS.Al-Baqarah:188)
Secara garis besar ada 5 macam hukum syara’ menurut fuqaha yaitu:
1. Wajib
para ‘ulama’ memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain:
“Suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan mendapat pahala namun jika ditinggalakan akan mendapat dosa.
Contoh: Sholat lima waktu, zakat fitrah, menuntut ilmu, puasa di bulan Ramadhan
Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, hukum wajib dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Wajib al-aini
Adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi orang mukallaf. Misalnya kewajiban melaksanakan shalat bagi setiap orang mukallaf.
b. Wajib al-kifayah
Adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah, melaksanakan amr ma;ruf nahyi munkar, dan menjawab salam ketika berkumpul bersama orang banyak.
Akan tetapi, wajib kifayah bisa berubah menjadi wajib ‘ain apabila yang bertanggung jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang. Misalnya, menolong orang yang tenggelam di laut atau sungai merupakan wajib kifayah, karena semua orang yang menyaksikannya wajib menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang yang menyaksikan peristiwa itu hanya satu orang yang pandai berenang, maka wajib kifayah yang dikenakan kepada sejumlah orang itu berubah menjadi wajib ‘ain bagi orang yang pandai tersebut.
2. Sunnah
“Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa“. Atau bisa anda katakan : “Suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa“ seperti sholat sunnah, puasa senin-kamis, sholat dhuha dll.
Para ulama Ushul Fiqh membagi sunnah menjadi tiga macam, yaitu:
a. Sunnah mu’akkad (sunnah yang sangat dianjurkan)
Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Diantaranya adalah shalat-shalat sunnah sebelum dan sesudah mengerjakan shalat lima waktu (shalat fardu), melaksanakan adzan, sholat berjama’ah, sholat hari raya dll.
Tolak ukur sunnah muakkad adalah bahwa pekerjaan itu tidak pernah ditinggalkan Rasulullah SAW, kecuali sekali-kali saja dalam rangka menunjukkan bahwa perbuatan itu tidak diwajibkan. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, pekerjaan sunnah seperti ini berfungsi sebagai pendahuluan suatu pekerjaan yang wajib. Sedangkan Imam Asy-Syathibi mengatakan bahwa sunnah itu apabila ditijau secara umum merupakan pelayan dan pendahuluan dari yang wajib.
b. Sunnah ghairu mu’akkad (sunnah biasa)
Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala apabila ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar’i, seperti bersedekah, shalat sunnah dhuha dan puasa setiap hari senin-kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama’ fiqh disyari’atkan tetapi senatiasa dikerjakan Rasulullah SAW.
c. Sunnah za’idah (sunnah yang bersifat tambahan)
Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah berupa sikap tindak-tanduk Rasulullah sebagai manusia biasa, seperti cara tidur, cara makan dan cara berpakaian. Apabila hal-hal seperti ini dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti paa yang dilakukan Rasulullah SAW, maka disebut sunnah za’idah.
3. Haram
“Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu“.

Contoh:
       •   
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah (QS. Al-Maidah:3)
Haram dapat dibagi menjadi haram li dzatihi dan haram li ghairihi. Apabila keharaman terkait dengan esensi perbuatan haram itu sendiri, maka disebut haram li dzatih. Dan apabila terkait dengan sesuatu yang di luar esensi yang diharamkan, tetapi berbentuk kemafsadatan, maka disebut haram li ghairihi.
a. Haram li dzatihi
Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan syar'i tentang keharamannya. Misalnya, memakan bangkai, babi, berjudi, meminum minuman keras, berzina, membunuh dan memakan harta anak yatim. Keharaman dalam contoh ini adalah keharaman pada zat (esensi) pekerjaan itu sendiri. Akibatnya, apabila melakukan suatu transaksi dengan suatu yang haram li dzatihi ini, hukumnya menjadi batal dan tidak ada akibat hukumnya. Misalnya, seseorang berzina dengan seorang wanita, lalu lahir anak dari hubungan tersebut. Anak itu tidak bisa dinasabkan kepada lelaki yang menanamkan bibit pada wanita tersebut. Demikian juga halnya memperjual-belikan benda-benda yang haram li dzatih, transaksinya tidak sah dan tidak ada akibat hukumnya.
b. haram li ghairihi
Yaitu sesuatu yang pada mulanya disyari'atkan, tetapi dibarengi oleh suatu yang bersifat mudarat bagi manusia, maka keharamannya adalah disebabkan adanhya mudarat tersebut. Misalnya melaksanakan shalat dengan pakaian hasil ghasab (mengambil barang orang lain tanpa izin), puasa di Hari Raya Idul Fitri.
Shalat tersebut pada dasarnya disyari'atkan tetapi karena dilaksanakan dengan memakai pakaian hasil ghasab atau puasa itu dilaksanakan pada waktu terlarang, maka shalat dan puasa itu menjadi haram. Dengan demikian, haram lighairih pada awalnya perbuatan yang dilakukan itu disyari'atkan atau dibolehkan tetapi karena dibarengi oleh suatu yang bersifat mudarat atau mafsadat dalam pandangan syara', maka perbuatan itu menjadi haram.
4. Makruh
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci.
“Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan“. Atau “meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya“.
Ulama hanafiyyah, membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu makruh tanzih dan makruh tahrim.
a. Makruh tanzih
Yaitu sesuatu yang dituntut syar’i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama’ hanafiyyah ini sama dengan pengertian makruh dikalangan jumhur ulama’. Misalnya hukum memakan daging kuda.
b. Makruh tahrim
Yaitu tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki.
5. Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal.
“Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya” atau “Segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya“
Contoh: dalam Al-Qur’an ada perintah makan, yaitu:
6. يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” Al-A’raf: 31
Akan tetapi perintah ini dianggap mubah. Jika kita mewajibkan perintah makan maka anggapan ini tidak tepat, karena urusan makan atau minum ini adalah hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia baik masih balita atau jompo. Sesuatu yang tidak bisa dielak dan menjadi kemestian bagi manusia tidak perlu memberi hukum wajib, maka perintah Allah dalam ayat diatas bukanlah wajib, jika bukan wajib maka ada 2 kemungkian hukum yang dapat kita ambil, yaitu: sunnah atau mubah. Urusan makan atau minum ini adalah bersifat keduniaan dan tidak dijanjikan ganjarannya jika melakukannya, maka jika suatu amal yang tidak mendapat ganjaran maka hal itu termasuk dalam hukum mubah.
Pembagian mubah menurut ulama’ Ushul Fiqh dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, yaitu:
1. Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti makan, minum dan berpakaian.
2. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan.. mubaha seperti ini contohnya: melakukan sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak ada makanan lagi yang mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak dimakan, maka seseorang bisa meninggal dunia. Oleh sebab itu, dalam kondisi seperti ini memakan daging babi untuk sekedar mempertahankan nyawa termasuk mubah. Atau sesuatu yang pada dasarnya wajib dilaksanakan, tetapi karena darurat, maka boleh ditinggalkan, seperti berbuka puasa bagi orang hamil, musafir dan ibu yang menyusui anak.
3. Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara’ tetapi Allah memaafkan pelakunya sehingga perbuatan itu menjadi mubah. Contoh untuk katagori ini banyak sekali, yaitu mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam, seperti mengawini bekas istri ayah (ibu tiri) dan mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian datang syari’at islam yang mengharamkan perbuatan tersebut dan menyatakan bahwa orang yang telah melakukannya sebelum islam dimaafkan. Dalam kaitan dengan ini Allah berfirman:
               
  
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh) (Q.S An-Nisa’:22)
1.3.2 Hukum Wad’i
Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab atau syarat atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’i di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.
1. Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain:
   
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
2. Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
  •   
Dan ujilah[269] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin(dewasa). (QS.An-Nisa’:6)
Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya erwalian atas dirinya.
3. Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang:
لَيْسَ لِلقَا تِلِ مِيْرَاثٌ
Artinya:
“pembunuh mendapat warisan”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuh sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
Dari pengertian hukum wadh’i tersebut ditunjukkan bahwa macam-macam hukum wadh’i yaitu sebab, syarat, man’ (penghalang).
1. Sebab
Menurut bahasa ialah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebab sama dengan illat tersebut.
Dengan demikian, terlihat keterkaitan hukum wadh’i (dalam hal ini sebab) dengan hukum taklif, sekalipun keberadaan hukum wadh’i itu tidak menyentuh esensi hukum taklif. Hukum wadh’i hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklif. Akan tetapi, para ulama’ Ushul Fiqh menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, bukan perbuatan manusia.
2. Syarat
Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Oleh sebab itu, suatu hukum taklifi tidak tidak dapat diterapkan kecuali bila telah memenuhi syarat yang telah diterapkan syara’. Misalnya: wudhu’ adalah salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak bisa dilaksanakan tanpa wudhu’, akan tetapi, apabila seorang berwudhu’, ia tidak harus melaksanakan shalat.
3. Mani (penghalang)
Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewaris). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewaris ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang wafattersebut.(H.R.Bukhari muslim)
4. Shihah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan shalat dzuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu’ (syarat) dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya(tidak haid,nifas dan sebagainya). Dalam contoh ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekalipun penghalangnya tidak ada.
5. Bathil
Yaitu terlepasnya hukm syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya memperjualbelikan minuma keras. Akad ini dipandang batal karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’. Disamping batal, ulama’ hanafiyah juga mengemukakan hukum lain yang berdekatan dengan batal, yaitu fasid. Fasid adalah terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad.
6. ‘Azimah dan Rukhshah
‘Azimah adal hukum-hukum yang diwariskan Allah kepada seluruh hambaNya sejak semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Misalnya, jumlah rakaat shalat dzuhur adalah empat rakaat. Jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat dzuhur. Hukum tentang rakaat shalat dzuhur adalah empat rakaat ini yang disebut dengan ‘azimah. Apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan shalat dzuhur dua rakaat seperti orang musafir, maka hukum tersebut disebut denga rukhsah. Dengan demikian, para ahli Ushul Fiqh mendefinisikan rukhshah dengan hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur.
1.4 Mahkum fih atau mahkum bih (objek dan peristiwa hukum)
1. Pengertian Mahkum Fih atau mahkum bih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum fih, karena dalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat yang diperintahkan maupun yang dilarang.
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seseorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntunan mengerjakan; tuntunan meninggalkan; memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab, halanngan, azimah, rukshah, sah serta batal. (Al-Bardisi: II: 148)
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum. Misalnya:
a. Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah : 43
Artinya:
 
“Dirikanlah shalat…” (QS. Al-Baqarah : 43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntunan untuk mengerjakan shalat dan berkaitn dengan kewajiban mendirikan shalat.
b. Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am : 151
Artinya :
   •      
“Jaganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar…” (QS. Al-An’am : 151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa haq, maka membunuh tanpa haq itu hukumnya haram.
c. Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah : 5-6
Artinya :
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku…” (QS. Al-Maidah : 5-6)
Dari kandungan ayat diatas, dapat diketahui bahwa wudhu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf, yaitu termasuk salah satu syarat sahnya shalat.
d. Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
“Pembunuh tidak mewarisi.” (HR. Abu Dawud, Imam Malik dan Ahmad Ibn Hanbal)
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab sesorang tidak mendapatkanharta warisan adalah pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf yang menjadi penghalang (mani) untuk menerima waris.
Dengan beberapa contoh diatas, dapat diketahui bahwa objek hokum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Ushul Fiqih menetapkan kaidah “Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan. “ Kaidah tersebut telah disepakati oleh sebagian besar ulama ushul. Diantara mereka, ada yang berargumen bahwa apabila dalam syara’ tercakup hokum wajib ataupun sunnah , maka perintahnya pasti jelas, yakni perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan sedangkan sunnah tidak demikian tetapi keduanya sama-sama bisa terlaksana dengan adanya perbuatan.
Begitu pula hukum syara’ yang berkaitan dengan haram dan makruh keduanya terjadi dengan perbuatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut.
Namun menurut mayoritas golongan mu’tazilah, bahwa objek hokum yang terkait dengan larangan, baik yang hukumnya haram ataupun makruh bukanlah perbuatan, namun semata-mata terjadi karena tidak adanya perbuatan. Dan hal itu merupakan kemampuan seorang mukallaf untuk tidak mengerjakan perbuatan tersebut.
Pendapat seperti itu dinilai tidak tepat menurut jumhur karena tidak adanya perbuatan tidak berarti sesorang tidak mampu mampu melakukannya. Dengan demikian, tidak berkaitan dengan pujian ataupun pahala. Maka tidak ada bedanya dengan ketiadaan sesuatu yang merupakan hasil dari sebelum adanya keinginan untuk mengerjakannya. Maka otomatis tidak ada nilai tuntunan di dalamnya.
2. Syarat-syarat Mahkum fih
Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
a. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditanggap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelum dia tahu persis rukun, syarat dan cara-cara shalat tersebut.
Dalam Al-Quran, perintah shalat dinyatakan antara lain dalam ayat: “Dirikanlah shalat!” Perintah shalat di Al-Quran ternyata masih global, maka Rasulullah SAW menjelaskannya sekaligus memberikan contoh, sebagaimana sabdanya, “Shalatlah sebagaimana aku shalat.” Begitu pula perintah-perintah syara’ lainnya seperti zakat, puasa dan sebagainya. Tuntunan untuk melaksanakannya dianggap tidak sah sebelum diketahui syarat-syarat, rukun, waktu dan sebagainya.
b. Mukallaf mengetahui sumber taklif. Seorang harus mengetahui bahwa tuntunan itu dari Allah SWT sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata. Sebenarnya, hal itu sama dengan hokum yang berlaku dalam hakum yang positif, yaitu tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Hal itu antara lain, untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaanya sesuai tuntunan syara’. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang dituntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan melaksanakannya. Hal ini telah direalisasikan di dunia islam. Ketika seseorang itu dinyatakan sempurna akalnya dan diperkirakan mampu mengetahui hokum syara’.
c. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
1. Al-Masyaqqah
Dalam merealisasikan syari’at tidak lepas dari rintangan dalam pelaksanaannya. Untuk itu, akan dijelaskan maksud dari masyaqqah (halangan) serta pembagiannya :
Musyaqqah itu terbagi dalam dua bagian :
a. Musyaqqah mu’tadah, adalah kesulitan yang mampu dibatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya. Kesulitan seperti itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dalam melaksanakannya.
b. Musyaqqah ghoiru mu’tadah, (kesulitan yang tidak wajar), adalah sesuatu kesulitan atau kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila dipaksakan.
3.Macam-macam Mahkum fih
Dari segi keberadaanya secara material dan syara’ mahkum fih terdiri atas :
a. Perbuatan yang secara material ada tetapi tidak masuk perbuatan yang terkait dengan syara’ seperti makan dan minum.
b. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hokum syara’. Seperti perzinaan, pencurian dan pembunuhan.
c. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan seperti shalat dan zakat.
d. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hokum syara’ yang lain seperti nikah, jual beli dan sewa menyewa..
Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu :
a. Semata-mata hak Allah
b. Hak hamba yang terkait dalam kepentingan pribadi seseorang.
c. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah lebih dominan.
d. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan.
1.5 Mahkum Alaiah (Sumber Hukum)
1. Pengertian Mahkum Alaih
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf .
Dari segi bahasa mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan mendapat pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa atau resiko dosa karena melanggar aturan-Nya atau tidak memenuhi kewajiban.
2. Taklif
2.1 Dasar Taklif
Dalam islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tak heran kalau sebagian besar ulama Ushul Fiqih berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang harus bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa memahami taklif dari Syar’i (Allah dan Rasul-Nya). Termasuk ke dalam golongan ini, adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa, karena dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Sebagaimana sabda Rasullah SAW :
ڕڣع القلم عن ثلاث عن النا ئم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق. ( رواه البخارى والترمذى والنسائى وابن ماجه والدارقطنى عن عائشۃ وائبى طالب)
Artinya :
“Diangkat pembebanaa hokum dari tiga (jenis orang):orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai baligh dan orang gila sampai ia sembuh.”
(HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Daru Quthni dari Aisyah dan Ali Ibnu Abi Thalib)
Rasulullah SAW pun menegaskan dalam hadis lainnya :
رفع ٲمتى عن اخطاء والنسيان ومااستكره له (رواه ابن ماجه والطبرانى)
Artinya :
“Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa”(HR. Ibnu Majah dan Thabrani)
Dengan demikian, jelaslah bahwa taklif hanya di peruntukkan bagi orang yang dianggap cakap dan mampu untuk melakukan tindakan hukum.
2.2 Syarat-Syarat Taklif
Ulama Ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai taklif apabila telah memenuhi dua syarat yaitu :
a. Orang itu telah mampu memahami khitbah Syar’i (tuntunan syara’) yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain.
Hal ini, karena orang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitbah syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
Kemampuan untuk memahami taklif tidak bisa dicapai, kecuali melalui akal manusia karena hanya akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan tetapi, telah dimaklumi bahwa akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur dan dipastikan berbeda antara satu orang dengan yang lainya, maka syara’ menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang kongkrit (jelas) dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum. Indikasi konkrit ini adalah balighnya seseorang. Penentu bahwa seseorang telah baligh itu ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali atau telah sempurna berumur lima belas tahun. Seperti ditegaskan dengan firman Allah SWT dalam (surat An-Nur : 59)
b. Seorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut dengan ahliyah.
Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu bertindak hukum, belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Maka anak kecil yang belum baligh, yang dianggap belum mampu bertindak hukum, tidak dikenakan hukum syara’. Begitu pula orang gila, karena kecepatan bertindak hukumnya hilang.

3. Ahliyyah
3.1 Pengertian ahliyyah
Secara harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka ia dianggap ahli dalam menangani bidang tersebut.
Adapun arti ahliyyah secara terminology, menurut para ahli ushul fiqih sebagai berikut:
صفۃ يقدرها الشارع فى الشخص تجعله محلا صا لحا لخطاب تشريعي
Artinya :
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’i untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntunan syara.” (Al-Bukhari : II : 1357)
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan demikian, jual belinya, hibbahnya dan lain-lain dianggap sah. Ia juga dianggap mampu untuk menerima tanggung-jawab, seperti nikah, nafkah dan menjadi saksi.
Kemampuan untuk bertindak hokum tidak datang kepada seseorang secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqih, membagi ahliyyah tersebut sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan akalnya.
3.2 Pembagian Ahliyyah
Menurut para ulama ushul fiqih, ahliyyah terbagi dalam bentuk yaitu : (Ibnu Amir, II: 164)
3.2.1 Ahliyyah ada’
Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila perbuatannya sesuai dengan tuntunan syara’, ia dianggap telah memenuhi kewajiban dan berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, bila melanggar tuntunan syara’, maka ia dianggap berdosa dan akan mendapatkan siksa. Dengan kata lain, ia dianggap telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban.
Menurut kesepakatan ulama ushul fiqih, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah aqil, baliqh dan cerdas. Kesepakatan mereka itu didasarkan pada firman Allah dalam surat An-nisa, 6:
Artinya :
“ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartany…” (QS. An-Nisa : 6)
Kalimat “cukup umur” dalam ayat di atas, menurut ulama ushul fiqih, antara ditujukan bahwa seseorang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan telah keluar haid untuk wanita. Orang seperti itulah yang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hokum sehingga seluruh perintah dan larangan syara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat ia laksanakan dengan benar. Apabila ia tidak melaksanakan perintah dan melanggar larangan, maka ia harus bertanggung jawab, baik di dunia dan di akhirat.
3.2.2 Ahliyyah Al-Wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak untuk menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, ia telah berhak untuk menerima hibbah. Dan apabila harta bendanya dirusak orang lain, ia pun dianggap mampu untuk menerima ganti rugi. Selain itu, ia juga dianggap belum mampu untuk dibebani kewajiban-kewajiban syara’, seperti sholat, puasa, haji dan lain-lain. Maka walaupun ia mengerjakan amalan-amalan tersebut, statusnya sekedar pendidikan bukan kewajiban.
Menurut ulama ushul fiqih, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah al-wujub adalah sifat kemanusiaann ya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh, kecerdasan dan lain-lain. Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak dilahirkan sampai meniggal dunia dan akan hilang dari seseorang apabila orang yang bersangkutan meninggal dunia. Berdasarkan ahliyyah wujub, anak yang baru lahir berhak menerima wasiat, dan berhak pula menerima pembagian warisan. Akan tetapi, harta tersebut tidak boleh dikelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali atau washi (orang yang diberi wasiat memelihara hartanya), karena anak tersebut dianggap belum mampu untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Para ulama ushul fiqh juga membagi ahliyyah al-wujub menjadi dua bagian (Al-Taftazani:152, Al-Baidhawi:306, Al-Ghazali: 84, Musthafa As-Sibai’: 106)
1. Ahliyyah al-wujub al-naqishah
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah dianggap memiliki ahliyyah al-wujub, tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat walaupun hanya sesaat. Dan apabila telah lahir, maka hak-hak yang ia terima dapat menjadi miliknya.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ada empat hak bagi seorang janin, yaitu :
a. Hak keturunan dari ayahnya,
b. Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia. Dalam kaitan ini, bagian harta yang harus ia terima diperkirakan dari jumlah terbesar yang ia terima, karena jika seorang laki-laki bagiannya lebih besar dari seorang wanita, apabila ternyata janin itu wanita, maka kelebihan warisan yang disisakan itu dikembalikan kepada ahli waris lain.
c. Wasiat yang ditujukan kepadanya.
Para ulama fiqih menetapkan bahwa wasiat dan wakaf merupakan transaksi sepiha, dalam arti pihak yang menerima wasiat atau waqaf tidak harus menyatakan persetujuannya untuk sahnya akad tersebut. Dengan demikian, penerima wasiat dan waqaf tidak perlu menyatakan penerimaannya. Dalam hal ini, wasiat atau waqaf yang diperuntukkan kepada janin, secara otomatis menjadi milik janin tersebut.
2. Ahliyyah Al-Wujub Al-Kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang.
Dalam status ahliyyah al-wujub (baik yang sempurna ataupun tidak), seseorang tidak dibebani tuntunan syara’ baik bersifat ibadah mahdlah, seperti shalat dan puasa, maupun yang sifatnya tindakan-tindakan hokum duniawi, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.
Namun demikian, menurut kesepakatan ulama ushul, apabila mereka melakukan tindakan hokum yang bersifat merugikan orang lain, maka orang yang telah berstatus ahliyyah al-ada ataupun ahliyyah al-wajib al-kamilah, wajib mempertanggungjawabkannya. Maka wajib memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri. Apabila tindakannya berkaitan dengan harta. Dan pengadilan berhak untuk memerintahkan wali atau washi anak kecil yang masih dalam ahliyyah al-wajib, untuk mengeluarkan ganti rugiterhadap harta orang lain yang dirusak dari harta anak itu sendiri.
Akan tetapi, apabila tindakannya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat fisik rohani, seperti melukai seseorang dan bahkan membunuhnya, maka tindakan hokum anak kecil yang memiliki ahliyyah al-wajib al-kamilah belum dapat dipertanggungjawabkan secara hokum, karena ia dianggap belum cakap untuk bertindak hokum. Maka hukuman terhadap pembunuhan yang dilakukan tidak dengan qishash, tetapi dianggap sebagai melukai atau pembunuhan semisengaja; yang hukumannya dikenakan diyat.
Adapun bagi orang yang telah berstatus ahliyyah al-ada, apabila melakukan tindakan hokum yang merugikan harta, fisik atau nyawa orang lain, ia bertanggungjawab penuh untuk menerima hukuman apapun bentuknya yang diputuskan syara’ atau pengadilan. Misalnya, ia wajib membayar ganti rugi terhadap orang lain yang dirusaknya. Dan ia pun harus di-qishash apabila melakukan tindakan melukai orang lain dan pembunuhan.
4. Halangan ahliyyah
Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa penentuan mampu atau tidaknya seseorang dalam bertindak hokum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi, para ulama sepakat bahwa berdasarkan hokum biologis, akal seseorang bisa berubah, kurang bahkan hilang. Akibatnya mereka dianggap tidak mampu lagi dalam bertindak hokum. Berdasarkan inilah, ulama ushul fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hokum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut:
a. Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berlanjut dengan kematian) dan lupa.
b. Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia seperti mabuk, terpaksa, bersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.
Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan hukumnya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau mengubahnya. Oleh karena itu, mereka membagi halangan bertindak hokum itu dilihat dari segi objek-objeknya dalam tiga bentuk : (Al-Bannani:I 72, Zhahir: 170, Al-Anshari: 166)
1. Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hokum secara sempurna (ahliyyah al-ada) hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa dan terpaksa. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW.
2. Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada, seperti orang dungu. Orang seperti itu, ahliyyah al-adanya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapannya dalam bertindak hokum. Maka tindakannya hokum yang sifatnya bermanfaat untuk dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya dianggap batal.
3. Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hokum seseorang, seperti orang berhutang, pailit, di bawah pengampunan, orang yang lalai dan bodoh. Sifat-sifat tersebut, sebenarnya tidak mengubah ahliyyah al-ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan hukumnya yang berkaitan dengan masalah harta dibatasi. Hal ini dimaksudkan untuk kemaslahatan dirinya dan hak-hak orang yang membayar hutang.






BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
Hakim (pembuat hukum) yang menurut para ulama ushul fiqih adalah firman Allah yang barhubungan dengan perbuatan orang mukallaf,baik itu berupa tuntutan,pilihan ataupun berupa hukum wadh’i. Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa Hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf.
Hukum syara’ adalah seruan Syari’ (pembuat hukum) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia) berupa tuntutan, penetapan dan pemberian pilihan. Hukum syara’ mampu mengatur hukum-hukum yang ada dalam masyarakat melalui wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.
Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu yang perbuatannya di kenahi khitab Allah SWT, yang di sebut dengan Mukallaf.
Syarat-syarat Mahkum Alaih:
• Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain.
• Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya
3.Mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.
Syarat-Syarat Mahkum Fih:
• Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
• Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
3.2 Saran
Adapun beberapa saran yang dapat kami sampaikan yaitu :
1) Agar para pembaca bisa mempelajari makalah yang kami buat dan mengerti isi serta ruang lingkupnya sehingga dapat diambil pelajaran dan diterapkan dalam kehidupan nyata.
2)Semoga para pembaca dapat mengkaji dengan baik dan bisa melengkapi kekurangan makalah yang kami susun.