BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakangPENDAHULUAN
Akidah bagi setiap muslim merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang wajib diyakini. Dalam al-Qur’an akidah disebut dengan al-Iman (percaya) yang sering digandengkan dengan al-Amal (perbuatan baik) tampaknya kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam ajaran Islam.
Dasar-dasar akidah Islam telah dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui pewahyuan al-Qur’an dan kumpulan sabdanya untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah Saw telah meyakini dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu lantaran rumusan tersebut belum diperlukan.
Pada periode selanjutnya, persoalan akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam Tuhan (al-Qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Kata kalam berkaitan dengan kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti alasan atau argumen Ahmad Mahmud Shubhi mengutip defenisi ilmu kalam versi Ibnu Khaldun bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membahas tetang persoalan-persoalan dasar keimanan dengan menggunakan dalil akal dan menolak unsur-unsur bid’ah.
Dari defenisi dapat dipahami bahwa pembahasan ilmu kalam adalah untuk mempertahankan akidah. Dasar-dasar akidah yang termaktub di dalam al-Qur’an dianalisa dan dibahas lebih lanjut dengan menggunakan logika untuk mendapatkan keyakinan yang lebih kokoh.
Persoalan kalam lainnya yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan tuhan dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman.
Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? atau manusia sendiri ? atau kerja sama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan Aliran Fatalis (predestination) yang diwakili oleh Qadariah dan Freewill yang diwakili Qadariah dan Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariah dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan.
Persoalan ini kemudian meluas dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak? apakah perbuatan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan pembahasan tentang perbandingan antar aliran, khususnya membahas tentang “Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia” dan permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana perbuatan Tuhan menurut aliran-aliran Kalam?
2. Bagaimana perbuatan manusia menurut aliran-aliran Kalam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perbuatan TuhanPEMBAHASAN
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memilki kemampuan untuk melakukannya.1
1. Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah, karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu manganut paham qadariah atau free will. Dan memang mereka juga disebut kaum Qadariah.2 Pula keterangan dan tulisan-tulisan para pemuka Mu’tazilah banyak mengandung paham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Al Jubba’I umpamanya, menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatnnya., manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kemauannya sendiri. Dan daya (al istita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama diberikan pula oleh “abd al-Jabbar. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia bukanlah diciptakan manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan.4 Perbuatan ialah apa yang dihasilakan dengan daya yang bersifat baharu.5 Manusia adalah manusia yang dapat memilih.6
Keterangan-keterangan di atas dengan jelas mengatakan bahwa kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia. Tetapi selanjutnya tidak jelas apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri. Dalam hubungan ini perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak dan daya untuk melaksanakan kehendak itu, dan kemudian barulah terwujud perbuatan.
Di sini timbul pertanyaan, daya siapakah dalam paham Mu’tazilah yang mewujudkan perbuatan manusia, daya manusia atau daya Tuhan? Dari keterangan-keterangan Mu’tazilah di atas, mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa karena perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan, maka daya yang mewujudkan perbuatan itu tak boleh tidak mesti daya manusia sendiri dan bukan daya Tuhan. Sungguhpun demikian masih timbul pertanyaan lain. Apakah daya manusia sendiri yang mewujudkan perbuatnnya ataukah daya Tuhan turut mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatan itu?
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak Rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam al-Qur’an pun jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya diatas adalah surat al-Anbiyaa (21):23 dan surat ar-Rum (30) : 8.
Berikut merupakan ayat al-Qur’an al-Anbiyaa (21):23
23. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.
Berikut merupakan ayat al-Qur’an ar-Rum (30) : 8
• • ••
8. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan dengan Tuhannya.
Qadi Abd al-Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan yang Maha suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu adapun ayat yang kedua, menurut al-Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
Kalau kita cermati, teologi yang diusung, baik oleh Mu’tazilah ataupun Asy’riyah, pada dasarnya ingin membela Allah subhanahu wa ta’ala. Mu’tazilah dengan teologi mirip Qadariyah, membela Allah subhanahu wa ta’ala dalam masalah keadilan. Bagi mereka, Allah subhanahu wa ta’ala itu harus adil. Dia tidak mungkin dinisbatkan dengan kejahatan dan kedzaliman, yang keduanya itu, terdapat dalam perbuatan manusia. karenanya, bagi mereka perbuatan dzalim, buruk, jahat dan juga perbuatan baik itu merupakan perbuatan murni manusia. Namun, tanpa disadari, dengan teologinya ini mereka menafikan kekuasaan dan kehendak Mutlak Allah subhanahu wa ta’ala. Di lain sisi, dengan penekanan yang berbeda, bahkan mungkin bisa dikatakan bertentangan, Asy’ariyah menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa dan berkehendak secara Mutlak. Dia bisa saja melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Dia bisa saja memasukkan orang yang suka maksiat ke dalam surga. Karena dari awal, surga dan Neraka sudah ditetapkan penghuninya. Namun, Asy’ari juga terjebak. Dia, disadari atau tidak, menafikan keadilan, rahmat dan hikmahNya. Mungkin perkataan Muthahhari ada benarnya juga. Dengan memberi tekanan kuat pada prinsip keadilan, kata dia, Mu’tazilah telah mengorbankan tauhid af’al, tetapi dengan memberi tekanan kuat pada tauhid af’al, Asy’ariyah telah mengorbankan prinsip keadilan.7
Dengan demikian menjadi jelas bahwa bagi Mu’tazilah, daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia. Perbuatan ini diwujudkan semata-mata oleh daya yang diciptakan Tuhan di dalam diri manusia.
Jadi dalam paham kaum Mu’tazilah, kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah kemauan dan daya manusia sendiri dan tak turut campur dalamnya kemauan dan daya Tuhan. Oleh karena itu perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan. Sebagai akan dilihat nantinya kaum Asy’ariah mempunyai paham berlainan.
Untuk memperkuat paham di atas, kaum Mu’tazilah membawa argumen-argumen rasional dan ayat-ayat al-Qur’an. Ringkasan argumen-argumen rasional yang dimajukan oleh ‘Abd al-Jabbar umpamanya, adalah sebagai berikut. Manusia dalam berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada manusia yang berbuat kebaikan itu. Demikian pula dalam melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik yang diterimanya, manusia menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan baik atau buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima kasih dan rasa tidak senang itu akan ditujukan manusia kepada Tuhan dan bukan kepada manusia.
Seterusnya perbuatan-perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak manusia. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan itu terjadi. Tetapi sebaliknya, jika seseorang tidak ingin berbuat sesuatu itu tidak terjadi. Jika sekiranya perbuatan manusia bukanlah perbuatan manusia, tetapi perbuatan Tuhan, maka perbuatannya tidak akan terjadi sungguhpun ia mengingini dan menghendaki perbuatan itu, atau perbuatannya akan terjadi sungguhpun ia tidak mengingini dan tidak menghendaki perbuatan itu.
Lebih lanjut lagi ia menerangkan bahwa manusia berbuat jahat terhadap sesama manusia. Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, perbuatan jahat itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian bersifat zalim. Hal ini tak dapat diterima akal.
Ayat-ayat yang dimajukan ‘Abd al-Jabbar, untuk memperkuat argumen-argumen rasional di atas, antara lain adalah :
•
“Yang membuat segala yang dijadikan-Nya baik”
Ayat ini, kata ‘Abd al-Jabbar, mengandung dua arti. Pertama ahsana berarti “berbuat baik” dan dengan demikian semua perbuatan Tuhan merupakan kebajikan kepada manusia, dan ini tidak mungkin, karena diantara perbuatan-perbuatan Tuhan ada yang tidak merupakan kebajikan, seperti siksaan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu yang dimaksud dengan ahsana di sini ialah arti kedua yaitu baik. Semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian perbuatan manusia bukannlah perbuatan Tuhan, karena diantara perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan-perbuatan jahat.
Juga dimajukan ayat-ayat yang mengatakan bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya seperti :
“….. sebagai upah atas apa yang mereka perbuat”
Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, pemberian balasan dari Tuhan atas perbuatan manusia, seperti disebut dalam ayat ini, tidak ada artinya. Agar ayat ini tidak mengandung dusta, demikian ‘Abd al-Jabbar, perbuatan-perbuatan manusia haruslah betul-betul perbuatan manusia.
Seterusnya dibawakan pula ayat :
“Siapa yang mau, percayalah ia, dan siapa yang tidak mau, janganlah ia percaya.”
Ayat ini memberi manusia kebebasan untuk percaya atau tidak percaya. Sekiranya perbuatan manusia bukanlah sebenarnya perbuatan manusia, ayat ini tak ada artinya.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia kewajiban-kewajiban tersebut dapat disimpulkan dalam satu hal yaitu kewajiban berbuat terhadap manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham kewajiban Allah berikut ini :
a. Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia.
Memberi beban di luar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia.
b. Kewajiban mengirimkan Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman Rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman Rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim Rasul. Tanpa Rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c. Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
Dalam masalah "free will" dan "predestination" serta konsep iman, Yunan menemukan pemikiran Hamka tentang kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat. Dengan akalnya manusia bisa menimbang mana yang buruk dan mana yang mendatangkan kebaikan. Namun, Hamka tetap mengakui jangkauan takdir sebagai manifestasi dari kekuasaan Tuhan.
Sejalan dengan itu, konsep iman tidak hanya meniscayakan sekedar tasdiq tetapi juga ma'rifah dan 'amal. Ini didasarkan pada keberadaan teologi sebagai sebuah paham keagamaan yang akan menentukan bentuk watak sosial penganutnya, serta memberi warna pada tindakan dan tingkah laku dalam setiap aspek kehidupannya, yang pada gilirannya akan memberikan arah pada jalan hidup itu sendiri.
2. Aliran Asy’ariah
Menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat dan yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia, Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul pada manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari sudut faham ini, pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah, manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
Kalau kita cermati, teologi yang diusung, baik oleh Mu’tazilah ataupun Asy’riyah, pada dasarnya ingin membela Allah subhanahu wa ta’ala. Mu’tazilah dengan teologi mirip Qadariyah, membela Allah subhanahu wa ta’ala dalam masalah keadilan. Bagi mereka, Allah subhanahu wa ta’ala itu harus adil. Dia tidak mungkin dinisbatkan dengan kejahatan dan kedzaliman, yang keduanya itu, terdapat dalam perbuatan manusia. karenanya, bagi mereka perbuatan dzalim, buruk, jahat dan juga perbuatan baik itu merupakan perbuatan murni manusia. Namun, tanpa disadari, dengan teologinya ini mereka menafikan kekuasaan dan kehendak Mutlak Allah subhanahu wa ta’ala. Di lain sisi, dengan penekanan yang berbeda, bahkan mungkin bisa dikatakan bertentangan, Asy’ariyah menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa dan berkehendak secara Mutlak. Dia bisa saja melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Dia bisa saja memasukkan orang yang suka maksiat ke dalam surga. Karena dari awal, surga dan Neraka sudah ditetapkan penghuninya. Namun, Asy’ari juga terjebak. Dia, disadari atau tidak, menafikan keadilan, rahmat dan hikmahNya. Mungkin perkataan Muthahhari ada benarnya juga. Dengan memberi tekanan kuat pada prinsip keadilan, kata dia, Mu’tazilah telah mengorbankan tauhid af’al, tetapi dengan memberi tekanan kuat pada tauhid af’al, Asy’ariyah telah mengorbankan prinsip keadilan.8
3. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian Tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman Rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
2.2 Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Maka di sini timbullah pertanyaan, sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup?, dan apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?.9
Mungkin terbersit pertanyaan, apa hubungannya free will dan Predistintion dengan Qadariyah dan Jabariyah, sehingga kedua aliran tersebut dijadikan acuan dalam pendahuluan. Menurut Harun Nasution yang kemudian diikuti Dr. Hasan Zaini, Qadariyah dalam isitlah inggrisnya dikenal dengan nama free will, sedangkan Jabaiyyah dikenal dengan sebutan predestination atau fatalism,10 Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat sekali antara istilah-istilah itu. Namun, disini yang akan dibicarakan bukan mengenai kedua aliran itu (baca; Qadariyah dan Jabariyah), melainkan nilai dan fahamnya. Lagi pula, baik Qadariyah ataupun Jabariyah keduanya itu lebih cenderung merupakan kelompok politik ketimbang aliran pemikiran murni (Madzhab).11
Dalam memperbincangkan soal kehendak Tuhan, al-Asy’ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Ayat yang dipakainya untuk memperkuat pendapat itu adalah :
“kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki,”
yang oleh al-Asy’ari diartikan bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu. Jadi seseorang tidak bisa menghendaki pergi ke Mekkah, kecuali jika Tuhan menghendaki seseorang itu supaya berkehendak pergi ke Mekkah. Ini jelas mengandung arti kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan dan bahwa kehendak yang ada dalam diri manusia sebenarnya tidak lain dari kehendak Tuhan.
Mengenai daya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan, al-Asy’ari berpendapat bahwa daya itu adalah lain dari diri manusia sendiri, karena diri manusia terkadang berkuasa dan terkadang tidak berkuasa, Daya tidak berwujud sebelum adanya perbuatan; daya ada bersama-sama dengan adanya perbuatan dan daya itu ada hanya untuk perbuatan yang bersangkutan saja. Sebagai argumen al-Asy’ari mengatakan bahwa orang yang dalam dirinya tidak diciptakan Tuhan daya, tidak bisa berbuat apa-apa.
Keterangan al-Asy’ari ini juga mengandung arti bahwa daya untuk berbuat sebenarnya bukanlah daya manusia, tetapi daya Tuhan. Dan dalam menyerang kaum Qadariah, al-Asy’ari memang menentang pendapat mereka dalam hal ini. Dalam paham mereka seperti telah dilihat, daya untuk berbuat adalah daya manusia sendiri dan bukan daya Tuhan. Al-Asy’ari menyatakan pendapat sebaliknya, yaitu bahwa daya untuk berbuat adalah daya Tuhan dan bukan daya manusia.
Keterangan yang lebih tegas dalam hal ini diberikan diberikan oleh al-Baghdadi ketika ia menyebut bahwa perbuatan mengangkat batu berat adalah contoh yang biasa diberikan oleh kaum Asy’ariah tentang al-kasb. Ada orang yang sama sekali tek sanggup mengangkat batu itu dan ada pula yang sanggup mengangkatnya. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu berat itu, perbuatan mengangkat batu dilakukan oleh orang yang sanggup mengangkatnya, tetapi itu tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu tidak turut mengangkat. Demikianlah pulalah perbuatan manusia. Perbuatan pada hakikatnya terjadi dengan perantaraan daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tak kehilangan sifat sebagai pembuat (fa’il).
Al-Ghazali juga memberi keterangan yang sama. Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia dan daya untuk berbuat dalam diri manusia. Perbuatan manusia terjadi dengan daya Tuhan dan bukan dengan daya manusia, sungguhpun yang tersebut terakhir ini rapat hubungannya dengan perbuatan itu. Oleh karena itu tak dapat dikatakan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya. Untuk itu harus dicari term baru, kata al-Ghazali selanjutnya, dan sesuai dengan apa yang disebut dalam al-Qur’an, perbuatan manusia disebut al-kasb.
Dalam paham al-Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan yang efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan. Sebagai diterangkan oleh al-Isfarayini daya manusia tidaklah efektif kalau tidak disokong oleh daya Tuhan. Oleh karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa daya manusia lebih dekat merupakan impotensi daripada merupakan yang lain.
Maududi berpijak pada manusia dikaruniai akal dan pikiran, maka ia mampu berpikir dan mengambil keputusan, memilih dan menolak, mengambil dan mengesampingkan sesuatu. Ia bebas menjalani hidup sesuai dengan pemilihannya. Ia bebas memeluk agama, mengambil jalan hidup, merumuskan kehidupan menurut kehendaknya. Dapat dan boleh menciptakan peraturannya sendiri atau mengikuti yang diciptakan orang lain. Ia diberi kebebasan dan dapat menentukan tingkah lakunya. Pada aspek ini manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Ia diberi kebebasan dalam berpikir, memilih dan bertindak.12
Dengan demikian, karena akal dan pikirannya itulah yang menyebabkan manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan sesuatu ataupun meninggalkannya, dan karena itu pulalah yang membedakannya dari makhluk hidup lainnya.
Adanya predestinasi bagi manusia, menurut Maududi hanyalah dalam bidang biologi, seperti kelahiran, pertumbuhan dan kehidupan yang diatur secara biologis. Manusia tidak lepas dari hukum tersebut. Semua organ tubuh manusia mematuhi aturan itu. Dengan kata lain, alam semesta beserta seluruh isinya, mengikuti ketetapan yang berlaku yang memang ditetapkan sebagai hukum untuk mengatur alam semesta itu, yang disebut hukum Allah SWT.13
1. Aliran Jabariyah
Dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya. Salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2. Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah al-Qur’an adalah Sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri banyak ayat al-Qur’an yang mendukung pendapat ini misalnya dalam surat al-Kahfi ayat ke-29 yang artinya : “Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”
3. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Sungguhpun dalam paham Qadariah atau Mu’tazilah manusia bebas dalam kehendak dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan manusia dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai manusia sendiri, umpamanya saja manusia datang ke dunia ini bukanlah atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan diketahuinya telah mendapati berada di bumi ini. Demikian pula menjauhi maut; tiap orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati. Tetapi bagaimanapun sekarang atau besok maut datang juga.
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya, dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun antara lain dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau, manusia sesuai dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan dilingkungi oleh oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak dapat diubah manusia. Manusia harus tunduk kepada hukum alam itu. Api, nalurinya ialah membakar. Manusia tak dapat mengubah naluri ini. Yang dapat dibuat oleh manusia ialah membuat atau menyusun sesuatu yang tak dapat dimakan api. Ada tubuh manusia yang tak terbakar kalau bersentuh dengan api. Dipandang dari sudut paham Qadariah atau Mu’tazilah, sebenarnya bukan api yang tak membakar, tetapi tubuh tertentu itulah yang tak dapat dibakar api. Tak dapat dibakar api, melalui proses tertentu, siapa yang sanggup menjalankan latihan-latihan tertentu itu, umpamanya kaum fakir yang dikenal di India, kakinya tak dibakar oleh api.
Dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan, manusia dapat pula menyusun suatu zat yang tak dapat dibakar oleh api, umpamanya asbestos. Sebagaimana halnya dengan tubuh manusia tadi, api tetap mempunyai naluri membakar, tetapi asbestos mempunyai naluri tahan api. Dan oleh karena itu, asbestos tak dapat dibakar oleh api.
Kebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham qadariah bisa disalahartikan mengandung paham, bahwa manusia adalah bebas sebebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada hakikatnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.
4. Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S. Ash-shaffat : 96).
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.
Jadi berlainan sekali dengan kaum Mu’tazilah, kaum Asy’ariah berpendapat bahwa kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri, sebagai ditegaskan oleh al-Asy’ari, adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia.
Bagi golongan Maturidiah perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan. Dalam hubungan ini, al-Maturidi, sebagai pengikut Abu Hanifah, menyebut dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan, jadi tidak sebelum perbuatan seperti dikatakan kaum Mu’tazilah. Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Pemberian upah dan hukum didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan. Dengan demikian manusia diberi hukuman atas kesalahan pemakaian daya dan diberi upah atas pemakaian yang benar dari daya.
Al-Maturidi menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu merupakan daya manusia, seperti dijelaskan Mu’tazilah ataukah daya Tuhan seperti Asy’ariah. Berpegang kepada pendapatnya bahwa daya adalah yang diciptakan dalam diri manusia dan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya, daya untuk berbuat itu tak boleh tidak mestilah daya manusia, karena orang tidak dapat memendang sesuatu perbuatan sebagai perbuatannya sendiri, kalau bukanlah ia sendiri yang mewujudkan perbuatan itu. Kaum Asy’ariah, karena memandang perbuatan adalah perbuatan Tuhan, tidak berani memandang perbuatan manusia sebagai perbuatan manusia sebenarnya.
Mengenai soal kehendak, keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti bahwa kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Karena salah atau benarnya pilihan dalam memakai dayalah maka manusia diberi hukuman atau upah. Manusia tentu tidak dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada di bawah paksaan daya yang lebih kuat dari dirinya.
Sungguhpun demikian, di dalam pendapat aliran Maturidiah, baik golongan Samarkand maupun golongan Bukhara, kamauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. Dan ini selanjutnya mengandung arti paksaan atau fatalism dan bertentangan dengan paham al-Maturidi tentang kebebasan memilih yang disebut di atas. Tetapi sebagai pengikut Abu Hanifah, al-Maturidi membawa ke dalam hal ini paham masyi’ah atau kemauan dan rida atau kerelaan. Manusia melakukan segala perbuatan baik dan buruk, atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan hati Tuhan. Tuhan tidak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya manusia berbuat baik atas kehendak Tuhan dan dengan kerelaan hati Tuhan; sebaliknya betul manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan hati Tuhan.
Jadi kehendak dalam paham al-Maturidi bukanlah kehendak bebas yang terdapat dalam paham Mu’tazilah. Kebebasan kehendak di sini bukanlah kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tak dikehendaki Tuhan, tetapi kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak disukai Tuhan. Dengan perkataan lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan dalam memilih antara yang disukai dan apa yang tidak disukai Tuhan. Jelas bahwa kebebasan serupa ini lebih kecil dari kebebasan dalam menentukan kehendak yang terdapat dalam aliran mu’tazilah.
Dengan demikian kehendak dan daya berbuat bagi al-Maturidi adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan.
Perbedaan lain yang terdapat antara paham al-Maturidi dan Mu’tazilah ialah bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan yang bersangkutan. Daya yang demikian kelihatannya lebih kecil dari daya yang ada dalam paham Mu’tazilah. Oleh karena itu manusia dalam paham al-maturidi tidak sebebas manusia dalam paham Mu’tazilah.
Adapun Maturidiah golongan Bukhara, maka bagi mereka, menurut apa yang dijelaskan al-Bazdawi, kehendak berbuat adalah sama dengan kehendak yang terdapat dalam paham golongan Samarkand. Mereka juga mengikuti Abu Hanifah dalam paham kehendak dan kerelaan hati Tuhan. Kebebasan kehendak bagi mereka hanyalah juga kebebasan untuk berbuat tidak dengan kerelaan hati Tuhan. Daya juga sama, yaitu daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Pendapat bahwa daya diciptakan sebelum perbuatan, kata al-Bazdawi, adalah salah besar dan akan membawa kepada keyakinan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KesimpulanPENUTUP
Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Tentang perbuatan Tuhan semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah (pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut Ma’bad al-Jauhari dan Ghailan ad-Dimsyaqi).
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri.
3.2 Saran
Persoalan kalam tidaklah harus diyakini, tapi cukup untuk dipelajari saja, terutama tentang aliran-aliran yang berpandangan tentang perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Afif, Muhammad. 2004. Dari teologi ke ideologi : metode telaah atas metode dan pemikiran teologi Sayyid Quthb. Pena Merah: Bandung.
Dr. Hasan Zaini MA. 1997. Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi cet. I. Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta.
Harun Nasution. 2002. Teologi Islam Edisi Kedua, Cet. I. UI-Press: Jakarta.
Maududi, Abul A’la. 1960. Towards Understanding Islam. One Seeking Mercy of Allah: Lahore.
Rozak, Abdul,. 2006. Ilmu Kalam. Cet. II: Pustaka Setia: Bandung.
Sarjoni, ILMU KALAM “Perbandingan Antar Aliran : Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia”, (Online) 2010. (http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/., diakses tanggal 30 September 2011).
Subhani, Ja'far. 1997. Al-Milal wan-Nihal: studi tematis Mazhab Kalam. Al-Hadi: Pekalongan.
Wardani. 2003. Epistimologi Kalam Abad Pertengahan. LKiS: Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar