Senin, 02 Januari 2012

hakim dan hukum

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini banyak fenomena-fenomena yang muncul di kalangan masyarakat yang sudah jelas hukumnya seperti riba, meminum-minuman keras, berbuat zina. Hal ini hukumnya sudah jelas yakni haram tetapi tetap saja dilakukan oleh banyak orang..
Agama islam datang di tengah-tengah masyarakat salah satunya yaitu untuk meluruskan dan menyelesaikan berbagai permasalahan dengan benar. Islam datang ke tengah-tengah masyarakat dengan membawa syari'ah (system hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur hukum-hukum yang ada dalam masyarakat melalui wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.
Hukum Islam (Islamic Law) merupakan perintah-perintah suci dari Allah SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan setiap Muslim, dan meliputi materi-materi hukum secara murni untuk mengatur kehidupan masyarakat serta materi-materi spiritual keagamaan.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hakim dan hukum?
2. Apa saja macam-macam hukum islam?
3. Apa perbadaan hukum fih dan hukum ilaih?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian hakim dan hukum
2. Mengetahui macam-macam hukum islam
3. Mengetahui perbadaan hukum fih dan ilaih







BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Hakim
Secara etimologi hakim mempunyai dua pengertian yaitu:
وَاضِعُ الأَحْكَامِ وَمُثَبِّتُهَاوَمُنْشِئُهَا وَمُصَدِّ رُهَا
Artinya:
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum”
اَلَّذِيْ يُدْرِكُ اْلاَحْكَامِ وَيُعْرِفُهَا وَ يُكْشِفُ عَنْهَا
Artinya:
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyikapkan”.
Hakim merupakan persoalan yang cukup cukup penting dalam ushul Fiqh, karena berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at islam atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya.
Disepakati bahwa wahyu merupakan sumber syari’at. Adapun sebelum datangnya wahyu, para ulama’ memperselisihkan peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi.
Dari pengertian hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam islam tidak ada syari;at kecuali dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib,sunnah,haram,makru,dan mubah) maupun berkaitan dengan hukum-hukum wadhi’ (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama’, semua hukum di atas bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad SAW, maupun hasil ijtihad para mujtahidmelalui berbagai teori istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini, para ulama ushul fiqh menetapkan kaidah

لاَحُكْمَ اِلاَّلله
Artinya:
“tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”
1.2 Pengertian Hukum
Secara etimologi , hukm (الحكم)berarti ma’nu (المغن) yakni “mencegah”. Hukum juga berarti qadha’ (القضاء) yang memiliki arti “memutuskan”. Mayoritas ahli ushul Fiqh mendefinisikan hukum sebagai berikut :

خطابالله اامتعلق بأفعال المكفين بالإقتضإ أولتخييرأوالوضع

“ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan melakukan atau ,meninggalkan, atau pilihan atau berupa ketentuan”.

Yang dimaksud khitab Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik al-qur’an, As-Sunnah maupun yang lainnya, seperti ijma’ dan kiyas. Namun, para ulama’ ushul kontenporer, seperti Ali Hasaballah dan Abdul Wahab Halaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil disini hanya Al-qur’an dan As-sunnah. Adapun ijma’ dan kiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari Al-qur’an dan sunnah tersebut. Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada kedua dalil tersebut tidak semestinya disebut sebagai sumber hukum.
Yang dimaksud dengan perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati,seperti niat dan perbuatan ucapan, seperti ghiba (mengunjing) dan namimah (mengadu domba).
Yang dimaksud denga imperatif (iqtidha) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu, yakni memerintah atau tuntunan untuk meninggalkannya yakni melarang, baik tuntutan itu bersifat memaksa ataupun tidak. Sedangkan yang yang dmaksud tahyir (fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan posisi yang sama.
Dan yang dimaksud wadh’i (mendudukan sesuatu) adalah memposisikan sesuatu sebagi penghubung hukum , baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang.
Dari definisi ini dapat dipahami beberapa hal:
1. Khitab Allah yang berhubungan dengan selain perbuatan mukallaf bukan hukum syara’ menurut para ahli ushul fiqh, seperti khitab Allah yang berkaitan dengan zat dan sifatnya dalam surat Al-Ankabut,29:62:

 •    
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

2. Dalam pandangan ahli ushul Fiqh bahwa hukum adalah khitab Allah itu sendiri. Sementara hukum dalam pandangan para ahli fiqh adalah apa ya ng dikandung oleh hitab Allah tersebut.Misalnya firman Allah dalam surat Al-Isra’17:32:
         
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Menurut ahli ushul fiqh ayat ini adalah hukum. Sedangkan ahli fiqh menyatakan bahwa yang hukum itu adalah keharaman zina yang di informasikan oleh ayat itu.
Selain itu, dari definisi hukum di atas dapat diketahui beberapa hal. Istilah khitab Allah dari definisi ini adalah kalam allah yanng langsung terdapat dalam Al-qur’an atau kalam Allah melalui perantaraan yang beasal dari sunnah, ijma’dan semua dalil-dalil syara’ yang dihubungkan kepada Allah untuk mengetahui hukumnya.

1.3 Pembagian Hukum
Hukum syara’ adalah firman Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik yang berbentuk tuntutan kebolehan atau menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani’. Jadi setiap nas yang mengandung tuntutan, kebolehan dan ketentuan yang menetapkan sesuatu menjadi syarat, sebab atau mani’ dinamakan khitab.
Hukum syara’ menurut para ahli ushul ialah akibat dari khitab Allah itu pada perbuatan mukallaf, seperti wajib, haram dan mubah. Mungkin timbul perkiraan sebagian orang bahwa hukum syara’ itu terbatas pada yang tercantum pada nash saja, karena ijma’, qiyas, dan sumber-sumber lain tidak termasuk hukum syara’. Namun sebenarnya hukum syara’ itu ada yang dicantumkan melalui nash yang ditunjuk dengan jelas, tetapi ada pula yang ditunjuk secara tidak jelas, inilah hukum syara’ yang diambil dari sumber-sumber lain seperti ijma’, qiyas, dan sebagainya.
Dipahami dari batasan hukum syara’ yang diterangkan di atas bahwa hukum syara’ itu ada dua macam yaitu hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatn mukallaf yang mengandung tuntutan dan kebolehan dinamakan hukum takhlifi dan yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani; dinamakan hukum wad’i.

1.3.1 Hukum Takhlifi
Hukum Takhlifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.
 Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:
   •     
“ Dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat”(QS. An-Nuur:56)
 Contoh firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
             ••    
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.(QS.Al-Baqarah:188)
Secara garis besar ada 5 macam hukum syara’ menurut fuqaha yaitu:
1. Wajib
para ‘ulama’ memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain:
“Suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan mendapat pahala namun jika ditinggalakan akan mendapat dosa.
Contoh: Sholat lima waktu, zakat fitrah, menuntut ilmu, puasa di bulan Ramadhan
Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, hukum wajib dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Wajib al-aini
Adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi orang mukallaf. Misalnya kewajiban melaksanakan shalat bagi setiap orang mukallaf.
b. Wajib al-kifayah
Adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah, melaksanakan amr ma;ruf nahyi munkar, dan menjawab salam ketika berkumpul bersama orang banyak.
Akan tetapi, wajib kifayah bisa berubah menjadi wajib ‘ain apabila yang bertanggung jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang. Misalnya, menolong orang yang tenggelam di laut atau sungai merupakan wajib kifayah, karena semua orang yang menyaksikannya wajib menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang yang menyaksikan peristiwa itu hanya satu orang yang pandai berenang, maka wajib kifayah yang dikenakan kepada sejumlah orang itu berubah menjadi wajib ‘ain bagi orang yang pandai tersebut.
2. Sunnah
“Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa“. Atau bisa anda katakan : “Suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa“ seperti sholat sunnah, puasa senin-kamis, sholat dhuha dll.
Para ulama Ushul Fiqh membagi sunnah menjadi tiga macam, yaitu:
a. Sunnah mu’akkad (sunnah yang sangat dianjurkan)
Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Diantaranya adalah shalat-shalat sunnah sebelum dan sesudah mengerjakan shalat lima waktu (shalat fardu), melaksanakan adzan, sholat berjama’ah, sholat hari raya dll.
Tolak ukur sunnah muakkad adalah bahwa pekerjaan itu tidak pernah ditinggalkan Rasulullah SAW, kecuali sekali-kali saja dalam rangka menunjukkan bahwa perbuatan itu tidak diwajibkan. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, pekerjaan sunnah seperti ini berfungsi sebagai pendahuluan suatu pekerjaan yang wajib. Sedangkan Imam Asy-Syathibi mengatakan bahwa sunnah itu apabila ditijau secara umum merupakan pelayan dan pendahuluan dari yang wajib.
b. Sunnah ghairu mu’akkad (sunnah biasa)
Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala apabila ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar’i, seperti bersedekah, shalat sunnah dhuha dan puasa setiap hari senin-kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama’ fiqh disyari’atkan tetapi senatiasa dikerjakan Rasulullah SAW.
c. Sunnah za’idah (sunnah yang bersifat tambahan)
Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah berupa sikap tindak-tanduk Rasulullah sebagai manusia biasa, seperti cara tidur, cara makan dan cara berpakaian. Apabila hal-hal seperti ini dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti paa yang dilakukan Rasulullah SAW, maka disebut sunnah za’idah.
3. Haram
“Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu“.

Contoh:
       •   
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah (QS. Al-Maidah:3)
Haram dapat dibagi menjadi haram li dzatihi dan haram li ghairihi. Apabila keharaman terkait dengan esensi perbuatan haram itu sendiri, maka disebut haram li dzatih. Dan apabila terkait dengan sesuatu yang di luar esensi yang diharamkan, tetapi berbentuk kemafsadatan, maka disebut haram li ghairihi.
a. Haram li dzatihi
Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan syar'i tentang keharamannya. Misalnya, memakan bangkai, babi, berjudi, meminum minuman keras, berzina, membunuh dan memakan harta anak yatim. Keharaman dalam contoh ini adalah keharaman pada zat (esensi) pekerjaan itu sendiri. Akibatnya, apabila melakukan suatu transaksi dengan suatu yang haram li dzatihi ini, hukumnya menjadi batal dan tidak ada akibat hukumnya. Misalnya, seseorang berzina dengan seorang wanita, lalu lahir anak dari hubungan tersebut. Anak itu tidak bisa dinasabkan kepada lelaki yang menanamkan bibit pada wanita tersebut. Demikian juga halnya memperjual-belikan benda-benda yang haram li dzatih, transaksinya tidak sah dan tidak ada akibat hukumnya.
b. haram li ghairihi
Yaitu sesuatu yang pada mulanya disyari'atkan, tetapi dibarengi oleh suatu yang bersifat mudarat bagi manusia, maka keharamannya adalah disebabkan adanhya mudarat tersebut. Misalnya melaksanakan shalat dengan pakaian hasil ghasab (mengambil barang orang lain tanpa izin), puasa di Hari Raya Idul Fitri.
Shalat tersebut pada dasarnya disyari'atkan tetapi karena dilaksanakan dengan memakai pakaian hasil ghasab atau puasa itu dilaksanakan pada waktu terlarang, maka shalat dan puasa itu menjadi haram. Dengan demikian, haram lighairih pada awalnya perbuatan yang dilakukan itu disyari'atkan atau dibolehkan tetapi karena dibarengi oleh suatu yang bersifat mudarat atau mafsadat dalam pandangan syara', maka perbuatan itu menjadi haram.
4. Makruh
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci.
“Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan“. Atau “meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya“.
Ulama hanafiyyah, membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu makruh tanzih dan makruh tahrim.
a. Makruh tanzih
Yaitu sesuatu yang dituntut syar’i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama’ hanafiyyah ini sama dengan pengertian makruh dikalangan jumhur ulama’. Misalnya hukum memakan daging kuda.
b. Makruh tahrim
Yaitu tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki.
5. Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal.
“Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya” atau “Segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya“
Contoh: dalam Al-Qur’an ada perintah makan, yaitu:
6. يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” Al-A’raf: 31
Akan tetapi perintah ini dianggap mubah. Jika kita mewajibkan perintah makan maka anggapan ini tidak tepat, karena urusan makan atau minum ini adalah hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia baik masih balita atau jompo. Sesuatu yang tidak bisa dielak dan menjadi kemestian bagi manusia tidak perlu memberi hukum wajib, maka perintah Allah dalam ayat diatas bukanlah wajib, jika bukan wajib maka ada 2 kemungkian hukum yang dapat kita ambil, yaitu: sunnah atau mubah. Urusan makan atau minum ini adalah bersifat keduniaan dan tidak dijanjikan ganjarannya jika melakukannya, maka jika suatu amal yang tidak mendapat ganjaran maka hal itu termasuk dalam hukum mubah.
Pembagian mubah menurut ulama’ Ushul Fiqh dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, yaitu:
1. Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti makan, minum dan berpakaian.
2. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan.. mubaha seperti ini contohnya: melakukan sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak ada makanan lagi yang mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak dimakan, maka seseorang bisa meninggal dunia. Oleh sebab itu, dalam kondisi seperti ini memakan daging babi untuk sekedar mempertahankan nyawa termasuk mubah. Atau sesuatu yang pada dasarnya wajib dilaksanakan, tetapi karena darurat, maka boleh ditinggalkan, seperti berbuka puasa bagi orang hamil, musafir dan ibu yang menyusui anak.
3. Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara’ tetapi Allah memaafkan pelakunya sehingga perbuatan itu menjadi mubah. Contoh untuk katagori ini banyak sekali, yaitu mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam, seperti mengawini bekas istri ayah (ibu tiri) dan mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian datang syari’at islam yang mengharamkan perbuatan tersebut dan menyatakan bahwa orang yang telah melakukannya sebelum islam dimaafkan. Dalam kaitan dengan ini Allah berfirman:
               
  
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh) (Q.S An-Nisa’:22)
1.3.2 Hukum Wad’i
Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab atau syarat atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’i di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.
1. Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain:
   
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
2. Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
  •   
Dan ujilah[269] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin(dewasa). (QS.An-Nisa’:6)
Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya erwalian atas dirinya.
3. Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang:
لَيْسَ لِلقَا تِلِ مِيْرَاثٌ
Artinya:
“pembunuh mendapat warisan”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuh sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
Dari pengertian hukum wadh’i tersebut ditunjukkan bahwa macam-macam hukum wadh’i yaitu sebab, syarat, man’ (penghalang).
1. Sebab
Menurut bahasa ialah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebab sama dengan illat tersebut.
Dengan demikian, terlihat keterkaitan hukum wadh’i (dalam hal ini sebab) dengan hukum taklif, sekalipun keberadaan hukum wadh’i itu tidak menyentuh esensi hukum taklif. Hukum wadh’i hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklif. Akan tetapi, para ulama’ Ushul Fiqh menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, bukan perbuatan manusia.
2. Syarat
Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Oleh sebab itu, suatu hukum taklifi tidak tidak dapat diterapkan kecuali bila telah memenuhi syarat yang telah diterapkan syara’. Misalnya: wudhu’ adalah salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak bisa dilaksanakan tanpa wudhu’, akan tetapi, apabila seorang berwudhu’, ia tidak harus melaksanakan shalat.
3. Mani (penghalang)
Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewaris). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewaris ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang wafattersebut.(H.R.Bukhari muslim)
4. Shihah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan shalat dzuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu’ (syarat) dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya(tidak haid,nifas dan sebagainya). Dalam contoh ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekalipun penghalangnya tidak ada.
5. Bathil
Yaitu terlepasnya hukm syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya memperjualbelikan minuma keras. Akad ini dipandang batal karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’. Disamping batal, ulama’ hanafiyah juga mengemukakan hukum lain yang berdekatan dengan batal, yaitu fasid. Fasid adalah terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad.
6. ‘Azimah dan Rukhshah
‘Azimah adal hukum-hukum yang diwariskan Allah kepada seluruh hambaNya sejak semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Misalnya, jumlah rakaat shalat dzuhur adalah empat rakaat. Jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat dzuhur. Hukum tentang rakaat shalat dzuhur adalah empat rakaat ini yang disebut dengan ‘azimah. Apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan shalat dzuhur dua rakaat seperti orang musafir, maka hukum tersebut disebut denga rukhsah. Dengan demikian, para ahli Ushul Fiqh mendefinisikan rukhshah dengan hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur.
1.4 Mahkum fih atau mahkum bih (objek dan peristiwa hukum)
1. Pengertian Mahkum Fih atau mahkum bih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum fih, karena dalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat yang diperintahkan maupun yang dilarang.
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seseorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntunan mengerjakan; tuntunan meninggalkan; memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab, halanngan, azimah, rukshah, sah serta batal. (Al-Bardisi: II: 148)
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum. Misalnya:
a. Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah : 43
Artinya:
 
“Dirikanlah shalat…” (QS. Al-Baqarah : 43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntunan untuk mengerjakan shalat dan berkaitn dengan kewajiban mendirikan shalat.
b. Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am : 151
Artinya :
   •      
“Jaganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar…” (QS. Al-An’am : 151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa haq, maka membunuh tanpa haq itu hukumnya haram.
c. Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah : 5-6
Artinya :
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku…” (QS. Al-Maidah : 5-6)
Dari kandungan ayat diatas, dapat diketahui bahwa wudhu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf, yaitu termasuk salah satu syarat sahnya shalat.
d. Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
“Pembunuh tidak mewarisi.” (HR. Abu Dawud, Imam Malik dan Ahmad Ibn Hanbal)
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab sesorang tidak mendapatkanharta warisan adalah pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf yang menjadi penghalang (mani) untuk menerima waris.
Dengan beberapa contoh diatas, dapat diketahui bahwa objek hokum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Ushul Fiqih menetapkan kaidah “Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan. “ Kaidah tersebut telah disepakati oleh sebagian besar ulama ushul. Diantara mereka, ada yang berargumen bahwa apabila dalam syara’ tercakup hokum wajib ataupun sunnah , maka perintahnya pasti jelas, yakni perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan sedangkan sunnah tidak demikian tetapi keduanya sama-sama bisa terlaksana dengan adanya perbuatan.
Begitu pula hukum syara’ yang berkaitan dengan haram dan makruh keduanya terjadi dengan perbuatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut.
Namun menurut mayoritas golongan mu’tazilah, bahwa objek hokum yang terkait dengan larangan, baik yang hukumnya haram ataupun makruh bukanlah perbuatan, namun semata-mata terjadi karena tidak adanya perbuatan. Dan hal itu merupakan kemampuan seorang mukallaf untuk tidak mengerjakan perbuatan tersebut.
Pendapat seperti itu dinilai tidak tepat menurut jumhur karena tidak adanya perbuatan tidak berarti sesorang tidak mampu mampu melakukannya. Dengan demikian, tidak berkaitan dengan pujian ataupun pahala. Maka tidak ada bedanya dengan ketiadaan sesuatu yang merupakan hasil dari sebelum adanya keinginan untuk mengerjakannya. Maka otomatis tidak ada nilai tuntunan di dalamnya.
2. Syarat-syarat Mahkum fih
Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
a. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditanggap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelum dia tahu persis rukun, syarat dan cara-cara shalat tersebut.
Dalam Al-Quran, perintah shalat dinyatakan antara lain dalam ayat: “Dirikanlah shalat!” Perintah shalat di Al-Quran ternyata masih global, maka Rasulullah SAW menjelaskannya sekaligus memberikan contoh, sebagaimana sabdanya, “Shalatlah sebagaimana aku shalat.” Begitu pula perintah-perintah syara’ lainnya seperti zakat, puasa dan sebagainya. Tuntunan untuk melaksanakannya dianggap tidak sah sebelum diketahui syarat-syarat, rukun, waktu dan sebagainya.
b. Mukallaf mengetahui sumber taklif. Seorang harus mengetahui bahwa tuntunan itu dari Allah SWT sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata. Sebenarnya, hal itu sama dengan hokum yang berlaku dalam hakum yang positif, yaitu tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Hal itu antara lain, untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaanya sesuai tuntunan syara’. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang dituntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan melaksanakannya. Hal ini telah direalisasikan di dunia islam. Ketika seseorang itu dinyatakan sempurna akalnya dan diperkirakan mampu mengetahui hokum syara’.
c. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
1. Al-Masyaqqah
Dalam merealisasikan syari’at tidak lepas dari rintangan dalam pelaksanaannya. Untuk itu, akan dijelaskan maksud dari masyaqqah (halangan) serta pembagiannya :
Musyaqqah itu terbagi dalam dua bagian :
a. Musyaqqah mu’tadah, adalah kesulitan yang mampu dibatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya. Kesulitan seperti itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dalam melaksanakannya.
b. Musyaqqah ghoiru mu’tadah, (kesulitan yang tidak wajar), adalah sesuatu kesulitan atau kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila dipaksakan.
3.Macam-macam Mahkum fih
Dari segi keberadaanya secara material dan syara’ mahkum fih terdiri atas :
a. Perbuatan yang secara material ada tetapi tidak masuk perbuatan yang terkait dengan syara’ seperti makan dan minum.
b. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hokum syara’. Seperti perzinaan, pencurian dan pembunuhan.
c. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan seperti shalat dan zakat.
d. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hokum syara’ yang lain seperti nikah, jual beli dan sewa menyewa..
Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu :
a. Semata-mata hak Allah
b. Hak hamba yang terkait dalam kepentingan pribadi seseorang.
c. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah lebih dominan.
d. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan.
1.5 Mahkum Alaiah (Sumber Hukum)
1. Pengertian Mahkum Alaih
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf .
Dari segi bahasa mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan mendapat pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa atau resiko dosa karena melanggar aturan-Nya atau tidak memenuhi kewajiban.
2. Taklif
2.1 Dasar Taklif
Dalam islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tak heran kalau sebagian besar ulama Ushul Fiqih berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang harus bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa memahami taklif dari Syar’i (Allah dan Rasul-Nya). Termasuk ke dalam golongan ini, adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa, karena dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Sebagaimana sabda Rasullah SAW :
ڕڣع القلم عن ثلاث عن النا ئم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق. ( رواه البخارى والترمذى والنسائى وابن ماجه والدارقطنى عن عائشۃ وائبى طالب)
Artinya :
“Diangkat pembebanaa hokum dari tiga (jenis orang):orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai baligh dan orang gila sampai ia sembuh.”
(HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Daru Quthni dari Aisyah dan Ali Ibnu Abi Thalib)
Rasulullah SAW pun menegaskan dalam hadis lainnya :
رفع ٲمتى عن اخطاء والنسيان ومااستكره له (رواه ابن ماجه والطبرانى)
Artinya :
“Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa”(HR. Ibnu Majah dan Thabrani)
Dengan demikian, jelaslah bahwa taklif hanya di peruntukkan bagi orang yang dianggap cakap dan mampu untuk melakukan tindakan hukum.
2.2 Syarat-Syarat Taklif
Ulama Ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai taklif apabila telah memenuhi dua syarat yaitu :
a. Orang itu telah mampu memahami khitbah Syar’i (tuntunan syara’) yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain.
Hal ini, karena orang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitbah syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
Kemampuan untuk memahami taklif tidak bisa dicapai, kecuali melalui akal manusia karena hanya akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan tetapi, telah dimaklumi bahwa akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur dan dipastikan berbeda antara satu orang dengan yang lainya, maka syara’ menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang kongkrit (jelas) dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum. Indikasi konkrit ini adalah balighnya seseorang. Penentu bahwa seseorang telah baligh itu ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali atau telah sempurna berumur lima belas tahun. Seperti ditegaskan dengan firman Allah SWT dalam (surat An-Nur : 59)
b. Seorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut dengan ahliyah.
Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu bertindak hukum, belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Maka anak kecil yang belum baligh, yang dianggap belum mampu bertindak hukum, tidak dikenakan hukum syara’. Begitu pula orang gila, karena kecepatan bertindak hukumnya hilang.

3. Ahliyyah
3.1 Pengertian ahliyyah
Secara harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka ia dianggap ahli dalam menangani bidang tersebut.
Adapun arti ahliyyah secara terminology, menurut para ahli ushul fiqih sebagai berikut:
صفۃ يقدرها الشارع فى الشخص تجعله محلا صا لحا لخطاب تشريعي
Artinya :
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’i untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntunan syara.” (Al-Bukhari : II : 1357)
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan demikian, jual belinya, hibbahnya dan lain-lain dianggap sah. Ia juga dianggap mampu untuk menerima tanggung-jawab, seperti nikah, nafkah dan menjadi saksi.
Kemampuan untuk bertindak hokum tidak datang kepada seseorang secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqih, membagi ahliyyah tersebut sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan akalnya.
3.2 Pembagian Ahliyyah
Menurut para ulama ushul fiqih, ahliyyah terbagi dalam bentuk yaitu : (Ibnu Amir, II: 164)
3.2.1 Ahliyyah ada’
Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila perbuatannya sesuai dengan tuntunan syara’, ia dianggap telah memenuhi kewajiban dan berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, bila melanggar tuntunan syara’, maka ia dianggap berdosa dan akan mendapatkan siksa. Dengan kata lain, ia dianggap telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban.
Menurut kesepakatan ulama ushul fiqih, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah aqil, baliqh dan cerdas. Kesepakatan mereka itu didasarkan pada firman Allah dalam surat An-nisa, 6:
Artinya :
“ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartany…” (QS. An-Nisa : 6)
Kalimat “cukup umur” dalam ayat di atas, menurut ulama ushul fiqih, antara ditujukan bahwa seseorang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan telah keluar haid untuk wanita. Orang seperti itulah yang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hokum sehingga seluruh perintah dan larangan syara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat ia laksanakan dengan benar. Apabila ia tidak melaksanakan perintah dan melanggar larangan, maka ia harus bertanggung jawab, baik di dunia dan di akhirat.
3.2.2 Ahliyyah Al-Wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak untuk menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, ia telah berhak untuk menerima hibbah. Dan apabila harta bendanya dirusak orang lain, ia pun dianggap mampu untuk menerima ganti rugi. Selain itu, ia juga dianggap belum mampu untuk dibebani kewajiban-kewajiban syara’, seperti sholat, puasa, haji dan lain-lain. Maka walaupun ia mengerjakan amalan-amalan tersebut, statusnya sekedar pendidikan bukan kewajiban.
Menurut ulama ushul fiqih, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah al-wujub adalah sifat kemanusiaann ya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh, kecerdasan dan lain-lain. Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak dilahirkan sampai meniggal dunia dan akan hilang dari seseorang apabila orang yang bersangkutan meninggal dunia. Berdasarkan ahliyyah wujub, anak yang baru lahir berhak menerima wasiat, dan berhak pula menerima pembagian warisan. Akan tetapi, harta tersebut tidak boleh dikelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali atau washi (orang yang diberi wasiat memelihara hartanya), karena anak tersebut dianggap belum mampu untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Para ulama ushul fiqh juga membagi ahliyyah al-wujub menjadi dua bagian (Al-Taftazani:152, Al-Baidhawi:306, Al-Ghazali: 84, Musthafa As-Sibai’: 106)
1. Ahliyyah al-wujub al-naqishah
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah dianggap memiliki ahliyyah al-wujub, tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat walaupun hanya sesaat. Dan apabila telah lahir, maka hak-hak yang ia terima dapat menjadi miliknya.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ada empat hak bagi seorang janin, yaitu :
a. Hak keturunan dari ayahnya,
b. Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia. Dalam kaitan ini, bagian harta yang harus ia terima diperkirakan dari jumlah terbesar yang ia terima, karena jika seorang laki-laki bagiannya lebih besar dari seorang wanita, apabila ternyata janin itu wanita, maka kelebihan warisan yang disisakan itu dikembalikan kepada ahli waris lain.
c. Wasiat yang ditujukan kepadanya.
Para ulama fiqih menetapkan bahwa wasiat dan wakaf merupakan transaksi sepiha, dalam arti pihak yang menerima wasiat atau waqaf tidak harus menyatakan persetujuannya untuk sahnya akad tersebut. Dengan demikian, penerima wasiat dan waqaf tidak perlu menyatakan penerimaannya. Dalam hal ini, wasiat atau waqaf yang diperuntukkan kepada janin, secara otomatis menjadi milik janin tersebut.
2. Ahliyyah Al-Wujub Al-Kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang.
Dalam status ahliyyah al-wujub (baik yang sempurna ataupun tidak), seseorang tidak dibebani tuntunan syara’ baik bersifat ibadah mahdlah, seperti shalat dan puasa, maupun yang sifatnya tindakan-tindakan hokum duniawi, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.
Namun demikian, menurut kesepakatan ulama ushul, apabila mereka melakukan tindakan hokum yang bersifat merugikan orang lain, maka orang yang telah berstatus ahliyyah al-ada ataupun ahliyyah al-wajib al-kamilah, wajib mempertanggungjawabkannya. Maka wajib memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri. Apabila tindakannya berkaitan dengan harta. Dan pengadilan berhak untuk memerintahkan wali atau washi anak kecil yang masih dalam ahliyyah al-wajib, untuk mengeluarkan ganti rugiterhadap harta orang lain yang dirusak dari harta anak itu sendiri.
Akan tetapi, apabila tindakannya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat fisik rohani, seperti melukai seseorang dan bahkan membunuhnya, maka tindakan hokum anak kecil yang memiliki ahliyyah al-wajib al-kamilah belum dapat dipertanggungjawabkan secara hokum, karena ia dianggap belum cakap untuk bertindak hokum. Maka hukuman terhadap pembunuhan yang dilakukan tidak dengan qishash, tetapi dianggap sebagai melukai atau pembunuhan semisengaja; yang hukumannya dikenakan diyat.
Adapun bagi orang yang telah berstatus ahliyyah al-ada, apabila melakukan tindakan hokum yang merugikan harta, fisik atau nyawa orang lain, ia bertanggungjawab penuh untuk menerima hukuman apapun bentuknya yang diputuskan syara’ atau pengadilan. Misalnya, ia wajib membayar ganti rugi terhadap orang lain yang dirusaknya. Dan ia pun harus di-qishash apabila melakukan tindakan melukai orang lain dan pembunuhan.
4. Halangan ahliyyah
Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa penentuan mampu atau tidaknya seseorang dalam bertindak hokum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi, para ulama sepakat bahwa berdasarkan hokum biologis, akal seseorang bisa berubah, kurang bahkan hilang. Akibatnya mereka dianggap tidak mampu lagi dalam bertindak hokum. Berdasarkan inilah, ulama ushul fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hokum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut:
a. Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berlanjut dengan kematian) dan lupa.
b. Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia seperti mabuk, terpaksa, bersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.
Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan hukumnya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau mengubahnya. Oleh karena itu, mereka membagi halangan bertindak hokum itu dilihat dari segi objek-objeknya dalam tiga bentuk : (Al-Bannani:I 72, Zhahir: 170, Al-Anshari: 166)
1. Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hokum secara sempurna (ahliyyah al-ada) hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa dan terpaksa. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW.
2. Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada, seperti orang dungu. Orang seperti itu, ahliyyah al-adanya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapannya dalam bertindak hokum. Maka tindakannya hokum yang sifatnya bermanfaat untuk dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya dianggap batal.
3. Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hokum seseorang, seperti orang berhutang, pailit, di bawah pengampunan, orang yang lalai dan bodoh. Sifat-sifat tersebut, sebenarnya tidak mengubah ahliyyah al-ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan hukumnya yang berkaitan dengan masalah harta dibatasi. Hal ini dimaksudkan untuk kemaslahatan dirinya dan hak-hak orang yang membayar hutang.






BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
Hakim (pembuat hukum) yang menurut para ulama ushul fiqih adalah firman Allah yang barhubungan dengan perbuatan orang mukallaf,baik itu berupa tuntutan,pilihan ataupun berupa hukum wadh’i. Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa Hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf.
Hukum syara’ adalah seruan Syari’ (pembuat hukum) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia) berupa tuntutan, penetapan dan pemberian pilihan. Hukum syara’ mampu mengatur hukum-hukum yang ada dalam masyarakat melalui wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.
Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu yang perbuatannya di kenahi khitab Allah SWT, yang di sebut dengan Mukallaf.
Syarat-syarat Mahkum Alaih:
• Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain.
• Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya
3.Mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.
Syarat-Syarat Mahkum Fih:
• Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
• Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
3.2 Saran
Adapun beberapa saran yang dapat kami sampaikan yaitu :
1) Agar para pembaca bisa mempelajari makalah yang kami buat dan mengerti isi serta ruang lingkupnya sehingga dapat diambil pelajaran dan diterapkan dalam kehidupan nyata.
2)Semoga para pembaca dapat mengkaji dengan baik dan bisa melengkapi kekurangan makalah yang kami susun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar